Selasa, 29 Desember 2015

WIDY

WIDY, “Karena Nggak Mesum Itu Nggak Aseks”. Itu slogan yang gue ajukan untuk nama grup Line WIDY. Oke, karena khwatir dikecal oleh masyarakat, slogan itu tidak diberlakukan. Dan dirundingkan kembali untuk mencari yang lebih wajar didengar. Sesuai dengan musyawarah dan mufakat slogan yang dipakai adalah, Write, Read and Repeat Again. Setidaknya itu mirip mirip dengan nama grupnya, WIDY, Write Read and Repeat Again.


Write Read and Repeat Again
Write Read and Repeat Again

Sebentar, ini dari tadi gue sebut sebut WIDY terus. Sebenarnya WIDY itu apa, sih? Satu dua hari sebelumnya sahabat dan cemceman gue sudah bahas apa itu WIDY. Iya, WIDY itu adalah nama grup Line yang gue ada di dalamnya. Gue adalah salah satu membernya. Hmm. WIDY itu lebih dari grup, WIDY itu adalah rumah maya gue, WIDY itu adalah keluarga baru gue, WIDY itu adalah anak didik kami, anak yang baru berusia satu bulan.
Tepat tanggal 25 lalu anak kami, WIDY, ulang tahun yang ke satu bulannya. Iya, WIDY lahir pada tanggal 25 November bertepatan pada hari guru. Semuanya bermula dari mensyen-mensyenan di Twitter. Sampai akhirnya di waktu Zuhur lewat beberapa menit, Yoga punya gagasan untuk berpindah ke grup yang lebih privasi. Selang beberapa jam kemudian, Yoga bikin multiple chat di Line, inilah cikal bakal terbentuknya WIDY.
Dengan adanya WIDY, kadang di tengah penat penatnya akan hiruk pikuk kehidupan gue, WIDY selalu menyuguhkan bahan obrolan yang beberapa bisa mencerahkan. Mulai dari obrolan tentang kehidupan, karir, percintaan, dan hobi. Namun, ada juga obrolan yang bersifat hiburan seperti bahas film, musik, buku, tulis menulis, nasi padang dan cerita keseharian. Selain obrolan dan berceloteh ria, kadang WIDY juga memberikan sebuah permainan kata. Permainan kata yang pertama dimainkan adalah sambung kata untuk kemudian dilajutkan menjadi kata baru. Saat itu yang lagi nongkrong di WIDY ada Wulan, Icha dan gue, Darma. Yoga waktu itu lagi ada kerjaan jadi belum bisa ikutan main. Tapi, bukannya melanjutkan main malah bahas yang kalah dikasih hukuman apa.
Di minggu minggu berikutnya, Yoga mulai ajak main sambung kata dengan level yang lebih. Yoga ajak main sambung kalimat, cuma kalimatnya harus terdiri dari tiga kata lalu dua huruf terakhir dari kalimat tersebut harus disambung dan dibuat kalimat baru dengan tiga kata. Saat itu kami bermain dari pukul 10 malam sampai tengah malam jam 12. Di waktu tangah malam itu gue mulai pamit mengundurkan diri dari game itu karena gue harus melanjutkan bermalam dengan skripsi tercinta. Dan sesuai kesepakatan yang kalah harus foto jelek. Dan ini foto kekalahan gue.
Sebenarnya di tengah permainan itu kami sudah ada permainan sambung cerpen. Kami harus melanjutkan narasi cerita yang sudah diberikan oleh orang sebelumnya. Bagian yang seru dari sambung cerpen ini adalah kadang alur yang sudah direncanakan ternyata bisa tersampaikan oleh orang yang berikutnya jalan. Tidak hanya itu, keseruan lainnya kami tidak akan tahu ending dari cerpen yang kami buat ini. Cerpen yang sudah dibuat WIDY setidaknya sudah cukup panjang, sudah ada beberapa paragraf. Untuk saat ini kami masih melanjutkan cerpennya. Besar harapan gue cerpen ini bisa menjadi novel yang cihuy. Doakan saja, ya. Hmm, oke ini kenapa bahas cerpen yang nanti akan rilis Januari.
Sebelumnya, gue mau kenalin dulu siapa saja yang ada di balik WIDY ini. Iya, walaupun kalian sudah pada kenal tidak ada salahnya dong, gue memperkenalkan ulang. WIDY, Wulan Icha Darma Yoga, mereka ini adalah anak-anak manusia yang tertarik dengan dunia tulis menulis. Alasan kami suka dunia tulis menulis karena kami hanya bisa curhat dalam bentuk tulisan. Curhatan curhatan kami dieskpresikan dalam tulisan dan di pos dalam blog masing-masing. Selain untuk curhat kami juga menulis untuk menghilangkan rasa kesendirian kami dan menulis juga untuk berkarya. Kami berempat bertemu di dunia maya, semua berkat blog.

 Mungkin segini yang bisa gue ceritakan.  Dan yang penasaran sama cerpennya pantangin terus, ya, blog kami.

Rabu, 16 Desember 2015

Rumah Tak Bertuan

Hiatus dari kepenulisan blog itu membuat gue terlihat cemen. Iya cemen. Di profile blog gue, di sana sempat -atau sekarang masih, ya?- tertulis kalau gue bakal konsisten menulis di blog. Tapi, nyatanya itu hanya bualan gue. Huhuhuhu. Sedih.
Menurut gue, untuk bisa konsisten itu ada kuncinya. Selain disiplin, juga harus cinta sama yang kita tekunin. Karena kalau sudah cinta dari hal yang kita tekunin itu pasti tidak akan terasa berat untuk dikerjakan.
Gue yang baru saja dikasih cobaan tugas akhir sudah angkat dan melambaikan tangan ke kamera. Lalu mengabaikan serta angkuh terhadap blog sendiri. Padahal dari blog ini, gue dapat teman dan kenalan baru, dapat ilmu dan informasi baru, serta dapat gebetan dan pacar baru. Wkwkwkw. *samina-mine e-e wkwk e-e
Hidup ini kadang memang suka disudutkan dengan dua jalan. Dan terkadang pula memaksa untuk memilih salah satunya. Misalnya gue, dua jalan yang gue hadapi saat ini adalah pilihan untuk menulis tugas akhir atau blog. Keduanya sama-sama kegiatan menulis. Namun, seakan salah satunya memberatkan satu lainnya. Gue merasa, kalau gue menulis blog seakan membuang kesempatan untuk fokus ke tugas akhir. Oke ini terlalu berlebihan. Padahal keduanya bisa berjalan beriringan. Misal, pagi sampai siang buat ngerjain tugas akhir, dan malamnya buat nulis satu postingan. Hmm.
Seandainya blog gue itu makhluk hidup pasti dia akan menuntut gue kemudian berkata, " Darma, kamu datang ke aku saat kamu sedang jengah jengahnya dengan tugas akhir. Sekarang, kamu pergi saat aku sedang cinta cintanya sama kamu. Kamu jahat, Dar, aku ditelantarkan."
Hmm. Inti tulisan ini adalah, gue mau minta maaf sama blog gue yang ditelantarkan oleh tuannya. Hahahhaha.
Sudah, ya. See you.

Rabu, 11 November 2015

Viola

Ceroboh. Sedini mungkin, gue berusaha supaya tidak punya sifat ceroboh. Tapi, namanya juga manusia yang tak luput dari dosa. Pasti selalu saja ada hal-hal remeh yang membuat gue terlihat seperti orang bodoh. Apalagi di mata kamu, aku selalu terlihat bodoh dan salah.

Kadang cerobohnya gue datang karena menyepelekan hal-hal kecil. Bisa juga karena gue lupa dan tidak menaruh barang gue pada tempatnya. Seperti, gue memasukan barang gue ke barang wanita yang gue ajak tidur semalam. Alhasil, dia hamil dan gue harus tanggung jawab. Tidak, itu bohong.

Waktu Zaman-zamannya SMP, gue sering banget kehilangan topi dan dasi. Salah gue sendiri, sih. Tiap selesai upacara topinya gue taruh di laci meja. Dasinya juga, waktu istirahat tiba, gue suka lepas dasi dan di taruh di tempat yang sama. Memang itu meja tempat biasa gue dudukin di kelas. Tapi, gue suka lupa bawa pulang barang-barang yang di tinggal di dalam laci. Tidak hanya topi dan dasi, kadang juga gue menaruh alat tulis dan buku paket atau buku tulis di dalam laci. Pulang sekolah tas kosong, serasa hidup tanpa beban. Dan besoknya gue nggak pakai dari ke sekolah dengan wajah pada biru-biru karena diomelin Bonyok. Pas upacara tiba, gue kelabakan cari-cari dasi dan topi di setiap laci meja murid dan guru. Kadang juga sampai cari-cari di lemari kelas sampai ke meja dan lemari kelas lain.

Dan gue selalu beruntung dapat topi, dasi hasil razia ilegal tiap upacara tiba. Hal ceroboh lainnya juga baru-baru ini terjadi sama gue. Gue kehilangan dia. Barang gue hilang *duh kenapa setiap gue nulis barang selalu mengarah ke sana, ya. IYKWIM. Hmm. Biar nggak ambigu gue sebut saja nama barangnya, Tas kabel gue hilang, Tas kabel? Iya tas kabel, nggak tahu ini mana aslinya apa. Pokoknya ini adalah tas kecil gue, kaya dompet, isinya penuh dengan kebel-kabel. Mulai dari kabel charger Hp, Netbook, Earphone, ada juga selain kabel seperti, kamera poket, gunting, pembersih Netbook, gunting kuku, dan beberapa flashdisk. Warna tasnya hitam, dan ada pin di ujung ekornya, serta ada dua kantong kecil di bagian depannya. Sebenarnya gue rada binggung, ini mirip dompet kenapa gue sebut tas, ya? *Penguatan, ini bukan tas atau dompet buat tempat alat-alat make up, ya, Guys.

Peristiwa hilangnya tas kebel gue kurang lebih seperti ini kronologisnya. Sore hari mendung yang mendukung gue sedang dirundung galau, karena menunggu kabar dia yang tak kunjung . *oke ini labay. Tapi, sore itu, gue lagi nggak tahu mau ngapain. Males melakukan kegiatan, Mungkin hari itu gue sedang lelah, Akhirnya gue cuma duduk sambil memakai earphone mendengarkan radio sambil ditemanai Netbook yang tertutup dan tas kebel di atas meja belajar. Beberapa menit berlalu, panggilan buat petugas dapur tiba. Akhirnya gue pergi ke lantai empat untuk siap siap menyiapkan makan sore. Sambil menghela nafas, gue mengakhiri mendengarkan radio dan membereskan earphone berserta Hp, lalu di masukkan ke dalam saku celana.

Singkat cerita setelah siap dari tugas piket dapur, dan sudah siap mandi juga, gue masuk ke kelas. Kira-kira itu pukul 20:00, gue masih santai belum kaya nggak ngerasa ada yang hilang gitu. Masih belajar buat persiapan ujian. Dan tiba-tiba menjelang salat Isya, gue baru ingat “Di mana tas kebel gue, perasaan tadi ada di meja,” pikir gue saat itu yang mulai nggak fokus. Sebenarnya sering banget tas kabel gue ini hilang. 

Di kelas pikiran gue mulai nggak fokus, terbagi-bagi. Mulai mengingat-ingat terakhir gue taruh tas kabel itu. Dengan yakin, gue memastikan bahwa tas kabel itu belum gue masukin ke dalam tas. Cek tas gendong gue, adanya cuma Netbook dan tas kebelnya nggak ketemu. Sesekali gue gercep cari tas kebel saat Abi -panggilan guru yang ngajar gue di asrama- sedang keluar kelas. Gue geledah semua sudut ruang kelas, tas-tas teman, dan lemari-lemari buku mereka. Dan hasilnya nihil.

Sampai akhirnya salat Isya tiba, dan gue masih belum bisa konsen, nggak fokus gegara tas kabel gue hilang. Selesai salat Isya, gue geladah sana sini lagi. Razia tas, lemari, dan sudut sudut ruangan. Siapa tahu ada yang memindahkan atau membereskannya, cuma salah masukin ke tas, pikir gue. Namun, hasilnya masih nihil. Sudah tanya-tanya yang lain, mereka juga pada nggak tahu. Gue mulai pasrah. Dengkul gue mulai lemas, kaki bergetar serasa nggak kuku menopang berat bedan yang nggak seberapa beratnya. Mulai sedikit terbuka akan rasa kehilangan. Sedih, galau kerena nggak ada teman curhat. *lah baper.

Saat gue mulai pasrah masuk ke derajat ikhlas *apa ini, dan gue mencoba bersikap normal, seolah tidak terjadi apa-apa. Mengikhlaskan yang hilang itu seperti mencoba melupakan kenangan masa lalu, yang kalau diingat malah bikin sakit. Gue memulai kembali beraktifitas malam seperti biasa, mengeluarkan buku, dan Netbook dari dalam tas gendong tuk lanjut mengerjakan tugas. Namun, tiba-tiba “viola”, tas kabel gue ternyata ada di dalam tas gendong. Perasaan tadi sudah gue cek berkali-kali nggak positif. Nah, ini tiba-tiba porsitif. Positif ada di dalam tas gendong. Ajaib.

Peristiwa hilangnya barang gue memang sering terjadi karena gue yang ceroboh dan pelupa. Ceroboh karena tidak menaruh barang pada tempatnya setelah selesai digunakan. Dan pelupa karena mungkin faktor usia. :( Pernah juga gue lupa sama dompet. Gue cari sana sini, eh, ternyata dompetnya gue pegang digenggaman tangan kiri. Tangan kiri gue saat itu lagi pegang dompet dan hp secara bersamaan. Dan gue sadarnya kalau tangan kiri gue itu lagi pegang hp doang. Gue kelimpungan cari dompet di saku celana depan, belakang, atas, bawah dan tetap aja nggak ada. :(

Hmm. Sudah, ah. Cerita gue yang lupa akan dompetnya nanti saja. Sampai ketemu lagi. See you ~


Senin, 19 Oktober 2015

Sok Sibuk

Mantap. Iya mantap. Sudah dua minggu gue nggak update pos blog. Terakhir itu tulisan di awal bulan ini tentang Lebaran Kurban. Itu juga tulisan nunggak dua minggu sebelumnya. Apa secara nggak sadar gue update blog setiap dua minggu kali, ya? Sedih banget. Setiap dua minggu satu pos. Kan, kasihan pembaca setia blog ini pasti sangat menanti nanti tulisan masterpiece gue. Terus pasti mereka selama selama dua minggu menanti bakalan gabut dan gegana (gelisah, galau, merana). *Ok ngaco, gue kepedeean.

Setelah melewati hari minggu tanggal empat kemarin, gue berencana mau ngerjain tugas akhir gue. Skripsi. Iya, gue sedang menjalankan tugas akhir kepenulisan membuat skripsi. Sudah telat satu semester gue lulus. Sekarang gue sudah semeser sembilan. Tua, ya. Tapi, banyak yang nggak percaya kalau gue sudah semester sembilan. Secara gitu wajah gue awet muda. Baby face banget.

Saat itu, gue lagi sadar-sadarnya mau ngerjain skripsi. Mulai baca-baca bahan yang perlu dicari dan bolak-balik ke sekolahan lagi. Namun, tiba-tiba guru tempat PPL/PKM dan tempat penelitian itu minta tolong ke gue buat bantuin edit dan rapihin buku paket pelajaran yang sedang ia buat. Awalnya dia sms menanyakan apakah besok gue ke sekolahan. Karena gue masih ada beberapa penelitian, tentu gue masih ke sekolahan itu lagi. Pikir gue tidak ada salahnya bantu-bantu dikit paling cuma beberapa lembar doang yang gue bantu. Dan zeger ternyata gue harus merapikan dua buku paket tiga ratus halaman. Sedikit, sih. Tapi, ini menambah kerjaan lagi. Gue harus membagi waktu. Belum lagi masalahnya adalah di netbook gue. Netbook gue ini nggak pakai OS Windows dan nggak ada Microsoft Wordnya. Jadi, kalau ngerjain buku paket itu gue harus pinjam netbook teman gue yang sedang tidak dipakai.

Karena cuma dikasih waktu dua hari pengerjaan, fokus gue langsung berganti untuk mengerjakan tugas baru gue. Gue mulai dari cari netbook pinjaman, mohon-mohon ke teman, dan akhirnya dapat. Selama dua hari pengerjaan gue nggak kemana-mana. Tapi, gue masih ingat sama mandi. Mandi gue masih tetap dua kali sehari, Makan juga masih terjaga polanya. Setelah dua hari pengerjaan akhirnya selesai juga. Gue kirim tugas itu ke gurunya.

Dan gue memulai melanjutkan ngerjain tugas akhir. Ternyata masih ada data yang belum gue dapat. Gue harus melakukan wawancara kepala sekolah tempat gue melaksanakan penelitian. Baru lepas dari tugas pengerjaan dua buku itu, ternyata guruya masih butuh bantuan gue. Menambahan beberapa hal yang perlu ditambahkan. Sebenarnya gue mau nolak kasih bantuan. Tapi, gue nggak enak bilangnya. Dan nggak berani juga.

***

Terlalu baik dan bodoh itu beda tipis, ya. Jauh di semester sebelumnya saat gue masih PKM bersama teman-teman di sekolah ini, gue bela-belain ngerjain tugas membuat laporan PKM yang seharusnya berkelompok gue malah menanggung pembuatan laporan sendirian. Iya sendirian. Teman-teman gue yang lain sedang kerepotan melaksanakan penelitian. Kebetulan secara acak mereka, teman teman gue, terpilih dalam tim penelitian. Penelitian yang mereka gunakan juga untuk skripsinya.

Karena teman gue ini lagi repot, entah apa yang ada di kepala gue, gue sok banget bikin sendirian pelaporan kelompok PKM. Tidak sepenuhnya sendirian, sih. Teman yang lain menambahkan beberapa hal yang perlu ditambahkan. Memang hasilnya tidak maksimal. Tapi setidaknya kelompok PKM gue bisa mengerjakan pelaporan tepat waktu.

Di semester selanjutnya setelah PKM berlalu dan teman gue itu pada lulus. Gue mulai melanjutkan ngerjain tugas akhir. Dan lagi. Gue mendapat job lain. Gue harus membantu kakak tingkat gue untuk merevisi skripsinya. Karena ini perintah dosen untuk gue membantu kakak tingkat itu. Beberapa minggu gue bantu mengerjakan, sampai akhrinya gue sakit. Hahahaha. Ngerjain revisian doang sampai sakit gue. Lemah. Dan kacaunya semangat gue mengilang untuk mengerjakan skripsi gue sendiri. Parah banget gue. :(

***

Hmm. Sebenarnya cerita di atas bukan sepenuhnya alesan gue sibuk sana sini tidak mengerjakan skripsi. Tapi, karena kurangnya rasa disiplin gue untuk mengerjakan skripsi. Seharusnya gue bisa membagi waktu. Waktu gue untuk ngerjain skripsi, waktu berleha-leha, waktu pengerjaan bantu sana-sini, waktu untuk keluarga, teman, dll.

Sudah, ah. Bahas skripsi, gue mulai baper. Dan tulisannya juga kali ini loncat sana sini. Tapi, biarin yang penting gue update blog. :p

Jumat, 02 Oktober 2015

Lebaran Kurban

Hallo. Gue mau cerita sedikit peristiwa yang terjadi sekitar dua Minggu lalu. Hmm. Tepatnya, pasca hilangnya ATM waktu ini. Cerita kali ini adalah pengalaman gue menjadi panitia-panitiaan Lebaran Qurban. Kebetulan juga di blog gue belum ada cerita tentang Lebaran Qurban. Baiklah. Jadi, begini ceritanya.

Sruput.. (*nyedot kupi di pagi hari)

Setelah gue makan es krim sore hari di Mall, malam harinya gue langsung berasa kedinginan. Malam sekitar jam satu malam, gue kebangun dari tidur. Ternyata malam itu gue tidur tepat berhadapan sama AC tanpa pakai selimut dan tanpa bantal juga. Alhasil gue kebangun dalam keadaan kedinginan dan pegal leher. Gue mulai berganti mencari posisi dan tempat tidur lain. Hmm. Kenapa Acnya nggak lu matiin saja, Dar? Terus tidur pakai selimut dan bantal. Gue nggak enak sama teman-teman cowo gue. Iya, gue tidur sama cowo. Gue nggak homo, ya. Percaya, deh. Jadi, gue ini tinggal di asrama. Kadang kalau kami lagi malas tidur di ruang tidur, kami lebih memilih tidur di ruang belajar dan tidur di bawah ac ruang belajar. Kalau acnya gue matiin kasian teman-teman gue pada kepanasan.

Gue yang mulai kebangun jam satu itu, mulai mencari pojok-pojok ruang belajar yang jauh dari AC. Gue males pindah ke ruang tidur. Ruang tidur itu jauh lebih dingin daripada ruang belajar. Dan kalau pun pindah pasti sudah kehabisan selimut dan bantal. Tingal di asrama memang gini. Slogan “satu untuk semua dan semua untuk satu” sangat berlaku bingits. Jatah bantal dan selimut untuk satu orang satu, tetap saja pasti ada yang memakai lebih dari satu bantal dan selimut. Gue juga sering begitu. Pakai lebih dari satu bantal dan selimut. Hohohoho.

Setelah dapat pojok tidur yang gue rasa nyaman, gue melanjutkan tidur kembali. Belum ada satu jam kayanya, gue sudah kebangun lagi. Kali ini badan gue mulai berasa panas-panas deman. Sampai akhirnya gue paksain tidur. Dan tara, pagi-paginya gue sudah deman dan flu. Bersin-bersin, badan anget, ingus meler dan kepala pusing.

Minggu pagi itu, gue males ngapa-ngapain. Bawaannya cuma mau tidur dan selimutan. Karena, gue nggak mau kondisi ini makin parah, gue paksaain buat sarapan biar perut nggak kosong. Siap sarapan gue pergi ke ruang tidur. Mau melanjutkan tidur. Gue pikir ini mungkin karena gue tidur di bawah AC dan gagara kebangun tengah malam juga. Jadi, kalau dibawa tidur lagi mungkin nanti pas bangun langsung segar kembali. Tiba-tiba baru mau memejamkan mata, pikiran gue mendadak keingetan sama nyokap dan keluarga di rumah. Gue kangen suasana rumah. Mau pulang tapi ada daya, gue lagi kurang fit. Dalam kondisi seperti ini, gue cuma tidur-tiduran di asrama.

Singkat cerita gue memutuskan buat minum obat warung. Namun, sampai beberapa hari ke depan dan besoknya lebaran qurban sakit gue tak kunjung membaik. Entah dosis obatnya yang kurang atau obat-obatan sudah nggak shhanggup meredakan sakit gue. Isi kepala gue mulai membanyangan peristiwa-peristiwa aneh. Mulai dari dosa dan hutang yang belum gue tebus, sakaratul maut, dan kuburan. Benar-benar kacau. Tapi, gue jadi ingat kalau benar ini cuma flu mungkin seminggu setelah ini gue akan sehat kembali.

Masalahnya besok adalah lebaran qurban. Gue yang sebagai panitia inti (pret) nggak boleh sakit dan harus bisa bantu-bantu kepanitiaan qurban di asrama. Dan alhamdulillah suatu keajaiban tiba. Besok paginya gue sudah ngerasa badan ini baikan. Gue pun melakukan persiapan lepas salat hari raya. Mulai pakai baju kepanitiaan, brefing tugas, dan stanby di tempat pemotongan. Tahun ini gue bertugas sebagai pembersihan darah. Tugasnya itu adalah nyerokin, sapu dan sikatin lantai halaman dari darah-darah yang keluar dari lubang. Dan menggiring masuk darah itu ke dalam lubang jagal.

Satu potong, dua potong, dan beberapa potong lainnya sapi sudah ditumbangkan. Menjelang siang, gue dan beberapa yang lainnya plus kang jagalnya mulai cape. Selain cape karena tugas inti, cape juga karena ikut menumbangkan sapi yang berdiri lagi saat sudah dipotong. Iya, entah itu sapi yang keberapa. Saat sudah di potong lehernya, sapi itu menggelepar dan meronta-ronta. Dan akhirnya itu sapi berdiri lagi. Mampus. Gue ketakutan. Sapi itu lari-lari kecil tawaf mengelilingi tiang pasaknya.

“Woy, tumbangin lagi itu sapi. Kayanya itu nadinya belum tepotong sampai putus,” ucap Abi Turki yang sebenarnya gue juga nggak tahu dia bilang apa. Tapi, kurang lebih mungkin seperti itu. Gue dan teman gue mulai menjebak itu sapi menarik talinya dan melilitkannya ke tiang dan kaki sapi itu. Kini, tinggal kang jagal yang merobohkan sapi zombie itu. Akhirnya sapi itu tumbang.

“Dar, tarik tu sapi,” suruh Fatih ke gue.
“Iya jangan gue sendiri keles. Pan ada kang jagalnya,” ucap gue menolak.
“Kelamaan. Mending kita yang tarik. Toh, kang jagalnya lagi giring sapi lainnya ke sini. Dan yang lain lagi pada sibuk ngulitin sapi, tuh,” kata Fatih menjelaskan.

Dan akhirnya kita berdua gegayaan narik-narik sapi mindahin ke tempat pengulitan.

“Tih, tarik sapinya,” jerit gue.
“Ini gue bantu narik,”kata Fatih.
“Apaan. Lu cuma narik narik baju gue doang. Lu tarik ini tambangnya atau kepalanya, atau ekornya. Lu dorong dari pantatnya, gue yang narik,” kata gue yang mulai cape.

Satu dua detik, dan beberapa detik berlalu, kita masih narik-narik itu sapi. Kampretnya kita sudah kecapean, sapi tumbang itu masih berada di tempat semula. Tidak bergerak sama sekali. Ini sapi sudah mati saja masih menyusahkan. Sungguh memalukan. Kita sebagai pemuda tanggung tidak shhanggup narik sapi, padahal sudah ditarik dengan dua orang. Kita pemuda tangguh sudah kandung malu dan mulai menyerah. Selang beberapa saat, kemudian datang Abi Rizki datang dan bantu kita narik sapi. Dan akhinya sapinya tertarik dan berhasil dipindahkan ke tempat pengulitan.

Siap memindahkan sapi nyusahin itu, gue mulai ketugas awalnya. Menjelang pemotongan sapi yang ke tujuh puluh, liang lubang darahnya mulai penuh. Sempat behenti beberapa saat ngecek lubang darah. Karena kelamaan ngecek, gue menyemplukan tangan gue sedalam siku ke dalam genangan darah di liang lubang. Dalam kondisi, tingkat kemachoan gue bertambah sepuluh persen. Hohohoho. Gue sedikit berani memandikan tangan gue ke dalam darah-darah sapi. Setelah gue ubek-ubek itu lubang, ternyata saluran pipanya mampet. Darah-darah sapi sudah pada menggupal menjadi seperti agar-agar merah. Setelah disodok sodok pakai anu yang panjang dan berambut dibagian pangkal, maksud gue sapu ijuk, ya. Akhirnya pipanya lancar kembali mengalirkan darah dilubang ke saluran yang sudah disiapkan.

Hari sudah menjelang sore, akhirnya pelaksanaan kurban plus pembagian daging kurban selesai juga di pukul tiga sore. Siap itu kami semua mulai melakukan pembersihan besar besaran. Membersihkan halaman asrama, terpal, dan dinding pagar yang terkena cipratan darah.

Sudah, ah. Ceritanya sudah kepanjangan. Kalau lama-lama nanti keenakan. See you ~
Itu gue di kiri foto yang lagi asyik serok-serok darah
Keceriaan di Hari Lebaran Kurban

Rabu, 30 September 2015

Hari Minggu Terakhir di Bulan September

Setelah lihat-lihat dan baca ulasan dari Yoga tentang kegiatan hari Minggu 27 September 2015 lalu, gue juga mau ngikut ceritain kegitan yang sama. Tapi, dalam versi gue. Hohohohoh. Semoga kalian nggak bosen bacanya. Heheheheh. Iya, hitung-hitung gue update tulisan di blog gue. :p Bodo amat. Suka-suka gue. Blog blog gue mau apa lu? Uweek. :p

Sudah hampir dua bulan, gue tidak bersua bersama teman-teman Blogger Jabodetabok. Bulan Agustus kemarin kami tidak kumpul-kumpul sama sekali. Kami sudah melanggar peraturan nomer seribu untuk bisa kumpul bareng tiap bulannya. Minimal satu kali dalam sebulan. Sampai akhirnya memasuki penghujung bulan September. Di Jakarta, seperti bulan lainnya, bulan September ini banyak event untuk para blogger. Beberapa teman Blogger Jabodetabok sudah pada kumpul-kumpul. Tapi, gue nggak ikut. Selain sibuk (preet), juga karena gue nggak dapat undangan eventnya. Sedih. Maklumlah masih blogger amatiran.

Bulan September ini niat awal kumpul tadinya mau di daerah Puncak. Tapi, malah nggak ada kelanjutannya. Yaudin, sampai akhirnya Yoga iseng doang ngajakin kita kumpul di acara Hari Komunitas Nasional yang laksanakan di Mall Kota Kasablanka, Jakarta Selatan. Meski yang respon sedikit tapi, tetap kita usahakan ketemuan. Hitung-hitung melepas penat akan hiruk pikuknya Ibukota bisa bertemu teman-teman jauh dan ngobrol berbagi cerita itu sudah sebuah kenikmatan dan keindahan tersediri. Melepas kangen serta rindu yang sudah membuncah dalam jiwa yang tak terbendung.

Lanjut kecerita. Awal janjian, gue minta untuk meet point jam 10 di St.Manggarai. Empat orang itu termasuk gue (Nurul, Karin, Yoga, dan gue) mengiyakan untuk meet point tersebut. Sampai akhirnya Nurul mulai bawel gitu di grup. Seakan dia galau mau pergi. Padahal satu jam lagi sudah mau jam 10. Gue juga salah, sih, jam sembilan masih di rumah. Tapi, kan, rumah gue dekat dengan st.Manggarai. Bahkan yang lain yang rumahnya jauh (Nurul, Karin, Yoga), mereka semua juga belum berangkat. Kampret. Batin gue ngedumel.

Pukul 09:15, gue akhirnya berangkat dari rumah. Karena belum sarapan gue mampir dulu beli jus alpukat dan makan bubur ayam. Hohohoho. Dan lagi-lagi di grup mulai pada bertanya-tanya. Gue iseng saja kirim gambar st.Manggarai, sambil bilang ini st.Manggarai. Padahal gue lagi nikmat-nikmatnya makan bubur ayam.

“Bang Dar, sudah di Manggarai,” tanya Nurul dalam grup.
Belum, ini gue baru otw. Hohohohoh. Kalau pada nggak jadi bilang, ya,” balas gue.

Sampai di Manggarai. Dari keempat orang itu, gue orang pertama yang sampai di Manggarai. Dan yang lain baru pada berangkat. Satu jam menunggu sambil di temanin SMS dengan Wulan, grup WA mulai ramai kembali. Tenyata Nurul, Karin, dan Yoga, secara kebetulan mereka naik satu kereta yang sama. Kereta yang pemberhentian terakhirnya di Depok. Dan supaya mereka nggak naik turun, gue diminta untuk naik kereta yang mereka naiki saat itu. Toh, st.Tebet itu satu jalur dengan kereta ke st.Depok. Lepas membaca pesan itu gue langsung buru-buru lari naik dan masuk ke kereta jalur enam. Kereta pemberhentian Bogor yang melewati Depok. Namun, ternyata kereta mereka masih belum sampai ke Maggarai. Dan kereta mereka masih berada di satu kereta di belakang kereta yang gue naiki di jalur enam. Baru mau turun biar bisa bareng dengan mereka, eh, kereta jalur enam yang gue naiki sudah terlanjur jalan. Yaudin, akhirnya meet pointnya di st.Tebet saja.

***

Setelah kumpul di st.Tebet dan keluar dari stasiun, kami langsung naik mikrolet biru muda nomer 44. Di dalam mikrolet mulai ngobrol-ngobrol sedikit tentang kegiatan sebulan dan seminggu terakhir. Bahas tentang lomba blog dan fotografi lewat hp. “Bilang ke supir turun di Mall Kokas, Dar,” pinta Yoga ke gue. Karena gue jaim nggak mau ngobrol sama kang supirnya, gue langsung tanya sama Nuri yang hari sebelumnya sudah pernah ke sana.

“Ini katanya di sebelah kanan. Gedung kaca biru,” balas gue ke Yoga sambil nunjukin layar hp. Niatnya mau pamer hp baru gue. Hohohohoh.
“Sebelah kanan mana? Patokannya apa?” tanya Yoga lagi.
“Itu sebelah situ ada tulisannya kelihatan,” sambung Karim sambil nunjuk ke arah depan mobil.

***

Sertibanya di tempat, gue kira ini sejenis kantor ternyata ini mall. Hohohoho. Norak banget gue, nggak bisa bedain mana mall dan kantor. Pas masuk kedalam berasa banget ini mall gede banget. Kalau ditinggal sendiri di dalam, gue juga bakal nyasar nggak bisa pulang.

Setelah mendapat informasi dari Nuri, kami disuruh naik ke lantai dua. Tanpa pikir, kami langsung cari eskalator dan menuju lantai dua. Sampai di lantai dua kami malah binggung. Ini dimana, ya? Kenapa masuk ke Galeri ATM? Mana tempat acaranya? Entah lupa atau karena tidak tahu. Setelah keliling-keliling di lantai dua, akhirnya kita bertanya kepada pak security. Setelah mendapat pentunjuk, arahan, dan instruksi dari pak security, kami langsung pergi ke lantai tiga.

Lepas keluar dari eskalator yang mengantarkan kami ke lantai tiga, kami di hadapkan pada sebuah ruang. Ruang yang di hampiri oleh banyak orang-orang mall yang berbondong-bondong menuju ke dalam tempat itu. Kami berpikir kalau di dalam sana acara HKN itu digelar. Begitu saat di depan ruangan itu dan di periksa petugas, tiba-tiba kami tidak diizinkan masuk. Dan pertugasnya bertanya kami ini mau kemana. Kami pun menjelaskan maksud dan tujuan kami. Kalau kami ini ingin mengebom mall terlaknak ini. Enggak, deng. Kami jelaskan secara jujur dengan ekspresi mata nanar dan wajah memelas dan suara mendesah agar kami bisa masuk.

Dan ternyata kami salah naik eskalator lantai tiga. Eskalator yang mengantarkan kami ke lantai tiga itu adalah ekslator menuju gereja, sedangkan eskalator lantai tiga yang benar menuju acara HKN itu ada di seberang dari kami berdiri. Mungkin pejaganya heran, rombongan kami ada yang berhijab dan mau masuk geraja. Akhirnya penjaga itu memastikan kami mau kemana. Terima kasih Tuhan. Engkau masih membimbing kami.

***

Setelah naik eskalator yang benar, akhirnya kita sampai di acara HKN2015. Luar biasa, depan pintu masuk sudah ada karpet merah yang mengarahkan kami untuk masuk ke dalam. Baru kali ini gue berjalan di atas karpet merah. Gue merasa tingkat kegantengan gue bertambah lima persen saat jalan di atas karpet merah. Belum juga masuk, kami sudah disambut oleh beberapa orang yang sedang mencari masa. Mulai dari volentir sosial sampai pegiat peduli politik. Usai sedikit basa basi dengan mereka, kami langsung foto-foto di depan banner HKN2015.

A photo posted by Darma Kusumah (@kusumah_darma) on


Secara pribadi, mungkin karena guenya yang kurang aware, gue menganggap kalau acaranya itu kurang seru. Selain karena tempatnya yang kurang luas, juga karena komunitasnya kurang menarik minat gue. Mungkin salah gue juga yang jaim sama penunggu-penunggu stand komunitas. Gue tidak banyak tanya kepada mereka. Padahal cukup banyak juga komunitas yang bisa bikin gue jadi pintar. Seperti komunitas batik, komunitas sejarah Indonesia, Komunitas fotografi, Komunitas ipek yang bisa bikin alat nonton chanel tv luar negeri, komunitas musik, dan beberapa komunitas lainnya.

Karena tidak ingin sia-sia pergi ke sina, kami pun mantengin berdiri di komunitas remaja batik Indonesia. Sampai akhirnya penunggu standnya mengajak kami untuk ikutan ngebatik. Kami kecuali gue, akhirnya ikut ngebatik. Lu kenapa nggak ikut ngebatik, Dar? Sebenarnya mau ikut, tapi, anehnya kenapa kepala gue malah geleng-geleng pas ditanya sama mas mas gantengnya. :( Sambil menunggu teman yang lain selesai ngebatik gue iseng- iseng saja ambil gambar mereka dan peserta lainnya yang sedang ngebatik.

Selesai itu kami pun keluar sebentar untuk isoma (istirahat, solat, dan makan). Gue lihat handphone ternyata ada pesan masuk dari Dicky. Dia ngabarin kalau sudah sampai dan sedang di lantai dasar. Gue langsung nelpon dia dan mengabarkan untuk ketemuan di musalah atau masjid saja. Yoga dan Karin juga mengabarkan kalau nanti akan ada Adi dan Ucup yang mau datang juga. Ternyata sedikit demi sedikit kami mulai ngumpul banyak, dan bisa daftar komunitas baru di acara HKN tahun ini. Saat hendak ke bawah mau ke Masjid kami bertemu Dicky dan dia ikut ke dalam barisan kami. Hohohohoh. Menurut kalian kira-kira kalau kami kumpul dan bikin komunitas, lebih baik bikin komunitas apa, ya?

A photo posted by Darma Kusumah (@kusumah_darma) on


Siap salat, kami cari makan dan istirahat sejenak. Siang itu memang gue sedang lapar banget. Yang biasaya gue jalan selalu jauh di depan mereka, kini gue jalan di barisan paling belakang. Aneh. Kadang setiap gue jalan selalu saja gue dibarisan depan. Entah jalan gue yang terlalu bersemangat dan terlalu cepat. Atau jalan mereka yang lambat kaya keong. Keong racun. Siang itu gue di tegur Nurul, katanya gue dari tadi lemes, dan diem terus. Gue bilang saja kalau gue lagi laper. Akhirnya Dicky memimpin barisan keliling-keliling lantai LG melewati puluhan jajaran dan jejeran tempat makan. Sudah jauh-jauh berjalan dan jauh-jauh pergi ke mall super gede ini ujung-ujungnya kami malah singgah di toko ayam. “Yang begini di depan kampus gue juga ada. Hohohoh,” sahut Nurul ke gue.

Sambil menunggu kang bersih-bersih toko ayam tuk bersihin meja kami, gue makan setengah piring kentang sisa orang makan di meja tersebut dan minum susu coklat yang ada di sana juga. Gue tawarin mereka, mereka pada jaim-jaim banget. Hohohohoh. Belum habis semua kentang gue lahap, Paber (cowonya Nurul) bawa mas-mas toko ayam tuk bersihin meja kami. Karena antriannya ramai bet, setelahnya kami berunding dan mengundi siapa yang akan dijadikan tukang antri yang memesan pesanan kami. Kami pun gambreng dan ternyata gue sama Nurul yang harus antri. Rada mager juga tapi, ini kesempatan emas buat gue ngedeketin Nurul. Hohohohoh. Namun, karena gue menghormati Paber mending mereka berdua saja yang pesan dan antar makanan kami.

Siap makan siang, kami ngobrol-ngobrol sebentar dan foto-foto. Bahas tempat wisata yang enak di Puncak untuk nanti kumpul berikutnya di Puncak. Tiba-tiba Karin mengabarkan kalau Uni dan Nuri ada di atas. Yaudin, kita balik lagi ke atas. Gue sudah rada bosen sebenarnya. Wong acaranya cuma gitu-gitu doang. Tapi, karena masih mau kumpul sama mereka sampai pulang malem pun gue rela. Dalam perlajanan menuju ke atas di sini banyak banget paha gratisan mulai dari paha local sampai paha mancanegara.

Yog, Itu bule cakep, ya. Nafsu gue lihatnya,” ucap gue.
“Tinggi banget itu bule. Lu mau diketekin sama dia. Terus kalau ciuman susah tahu. Lu kalah tinggi,”balas Yoga jujur.

Setelah sampai di atas kami akhirnya bertemu dengan Uni dan Nuri, ngobrol-ngobrol dan foto-foto. Pergi ke toilet dan keluar masuk ke acara sambil menunggu yang lain pada datang juga. Setelah lama menunggu akhirnya Ucup dan Adi datang dan bertemu kami di dalam. Terus foto-foto lagi, deh. Ngobrol-ngobrol lagi sampai jam setengah lima-an. Kami pun ke bawah lagi ke lantai LG, kali ini istirahat dan salat Asar. Gue ngerasa kami pergi ke mall cuma numpang salat doang. Hohohohoh. Sampai di bawah kami istirahat sampai masuk waktu Magrib. Tidak lama setelah itu kami bertemu Reza dan kembali lagi ke atas. Ini, mah, pegal bolak-balik ke atas ke bawah. Kan, lebih enak pegal keluar masukin anu.

Pas sampai di lantai dua ternyata sudah pada bubaran. Uni, Nuri, Adi, dan Ucup sudah turun di lantai dua. Kami bertemu mereka pas banget di tangga turun dari lantai tiga ke lantai dua. Sebenarnya masih ada beberapa stand yang masih buka. Namun, Uni mengajak kami untuk pergi dan makan di UKM lantai LG. Sambil ngobrolin projek besar, katanya. Ternyata projek besar itu adalah kami diminta Uni untuk bikin buku. Sejenis buku antologi, kumpulan cerita gitu. Untuk urusan penebit dan editor itu masalah gampang, kata Uni memotivasi. Di tengah-tengah pembicaraan datang lagi teman kami. Bela. Dia datang ingin bertemu Uni dan Nuri. Dengan teliti, kami hanya mendengarkan dengan hikmat akan amanah dan permintaan Uni tersebut. Setelah ngobrol-ngobrol sampai jam delapan akhirnya kami pulang.

***

Pulang saat tiba di st,Tebet, kami berpisah dengan Uni. Uni pulang ke arah st.Bogor naik dari peron nomer dua. Sedangkan kami (Yoga, Karin, Nurul, Paber, Bela, dan Gue) pulang ke arah st.Manggarai dan st.Tanah Abang di peron nomer satu. Dan yang lain (Adi, Reza, Dicky, dan Ucup) pulang naik motor. Di st.Tebet, kami lama nungguin Yoga yang bermasalah dengan kartu Flashnya. Gegayaan banget itu anak, biasa juga naik kereta pakai tiket harian berbayar (THB). Lama menunggu Yoga dari sebrang palang gardu masuk, kereta jurusan Bogor akhirnya tiba dan Uni pamit duluan. Bertepatan saat Yoga masuk kereta yang lewat st.Tanah Abang pun tiba. Dia pun cerita-cerita sedikit kalau kartu Flashnya belum diaktifkan untuk naik kereta dan saldo minimumnya tidak mencukupi. Saat kami lagi buru-buru mau naik kereta di peron satu, tiba-tiba Yoga izin mau ke toilet. Kami pun menunggu Yoga dengan penuh cemas dan galau. Antara mau meninggalkan Yoga atau menunggu sampai dia selesai pipis. Sampai akhirnya keretanya mau berangkat dan Yoga belum kembali menyusul kami. Kereta pun meninggalkan kami. Dan kami harus menunggu kereta berikutnya. Dasar Yoga kampret, kami jadi makin malam pulangnya.

Selang beberapa menit kemudian kereta pemberhentian st.Jatinegara tiba. Beberapa dari kami mulai ada yang berdebat, bertanya-tanya apakah kereta ini benar melewati st.Tanah Abang. Ada yang menjawab iya, dan ada yang ragu dan takut salah naik. Karena nggak mau lama menunggu lagi tanpa pikir panjang kami naik kereta tersebut. Dan melanjutkan perdebatan di dalam kereta. Kalau gue, sih, bodo amat. Toh, gue turun di st.Manggarai. Beda satu stasiun dari st.Tebet. 

Masuk ke st.Manggarai, gue siap-siap berdiri pamit ke mereka semua dan turun. Melanjutkan naik kereta di jalur lain menuju st.Klender. Semoga saja mereka tidak salah naik kereta dan turun tepat di st.Tanah Abang.

Sudah, ya, segitu saja cerita gue kali ini. Maaf kalau tidak jelas akhir ceritanya. Dan maaf juga kalau kepanjangan. Hohohohoho. Terima kasih untuk kalian yang sudah baca tulisan ini sampai selesai. Daadaaaa. See you ~

Sabtu, 26 September 2015

Misteri Hilangnya Kartu ATM

Ceroboh. Iya, gue ceroboh banget. Senin kemarin gue baru saja mengurus kartu ATM gue yang hilang. Kartu ATM itu hilangnya sudah dari hari Sabtu. Pasca hilangnya itu kartu ATM masih di hari yang sama, gue malah dengan santainya makan es krim dan baca buku di pelataran Mall. Gue belum sadar dengan kartu ATM gue yang hilang, Gue masih asik ngeskrim ganteng di Mall.

Awal kejadiannya begini, hari Sabtu itu, gue mau pergi ke Gramed. Sebelum ke Gramed, gue ambil duit dulu di mesin ATM. Gue dorong pintu ATM lepas sandal baca doa terus masuk ke dalam. Pijit-pijit tombol mesin ATM sambil baca pesan dari Raisa. Kalau nggak salah, dia tanya tentang bahasa Sunda yang lagi di pakai sama temannya di status BBM. Padahal gue juga kurang ngerti. Untung ada pak satpam Dadan Tauladan. Akhirnya gue keluar sebentar, bertanya ke pak satpam tentang apa yang Raisa tanya terus masuk lagi ke dalam. Masuknya pelan-pelan lagi. Usai pijit-pijit tombol, duit yang gue mau akhirnya keluar. Habis itu gue langsung keluar dan pergi ke Gramed.

Tiba di Gramed, buku yang gue cari nggak ada. Yaudin, karena nggak mau rugi sudah cape keliling-keliling, gue iseng-iseng foto-foto objek yang ada di dalam Gramed. Eh, nggak sengaja malah ketemu bidadari. Itu cewe cakep bet, pakai baju kaos warna lemon. Bawa bonyoknya lagi. Kayanya dia berstatus jomblo. Terus cari jodoh sama bonyoknya ke Gramed. Karena yakin dengan asumsi sendiri, gue buntutin dia dari belakang. Dia akhirnya berhenti di depan komputer pencarian sama Nyokapnya, dan Bokapnya berdiri tidak jauh dekat rak buku.

“Baca buku, Om?” Ucap gue ke Bokap itu cewe.
“Iya. Ini buku bagus, Dek. Sejarah tentang Soekarno, dia teman main saya waktu masih kecil dulu,” kata Bokap itu cewe.
“Hmm. Ternyata Om sudah tua, ya,” balas gue tanpa pikir.

Setelah percakapan singkat itu si Bokap melotot-melotot ke Gue. Gue cuma balas mata genitnya itu dengan senyum-senyum manja.

Karena dirasa cukup pedekate sama Bokapnya itu cewe, gue langsung jalan mendekati cewe lemon. Tinggal satu belokan sampai, tiba-tiba ada mas-mas Gramed yang lebih dulu deketin. “Sial gue kalah cepet,” gumam gue dalam batin. Akhirnya, gue cuma bisa lihat dia dari belakang rak buku sambil pura pura baca kamus.

***

Menjelang sore sepulang dari Gramed, gue mampir ke Arion mau jajan es krim sambil baca buku. Lagi enak ngelamun sambil ditemanin es krim di sisi kiri, dan buku di sisi kanan, tiba-tiba ada suara ledakan di pelataran Mall. Arah ledakan itu tepat di sisi kanan belakang gue. Sontak semua pengunjung pada kaget dan ada juga yang latahan kecuali gue. Iya, gue nggak latahan. Serius.

Usut punya usut, tenyata ledakan itu dari balonnya Ibu muda yang meledak saat di pegang oleh Ayah muda. Mereka ini pasangan muda. Untung si Ibu muda itu punya dua balon. Sepasang lagi. Tunggu. Maksud gue, pasangan muda ini bawa anak. Ibu muda ini lagi gandeng anaknya yang sedang bawa balon. Terus Ibunya pinta Ayahnya buat pegang si anak dan balonnya. Waktu ibunya lagi pesan es krim dan ayahnya mangku anak mereka, tiba tiba balon biru itu meledak. Si Ayah yang merasa bersalah sama anaknya cuma ngelus-ngelus dada anaknya berharap anaknya nggak kaget gitu sambil minta maaf ke anaknya. Anaknya cuma pasang muka datar. Kaya keenakan gitu dielus-elus dadanya. Anaknya lucu banget. Minta banget mau dibawa pulang. Rasanya mau gue bungkus terus dipitain.

Satu jam berlalu gue makan es krim sambil baca buku. Karena sudah puas dan sudah sore banget akhirnya gue pulang. Sampai saat ini gue belum sadar kalau kartu ATM gue hilang.

Besok paginya, Minggu, badan gue malah demam. Seharian kerjanya cuma tidur, bangun, makan, ngeluh, uring-uringan, terus tidur lagi. Karena sudah nggak tinggal bareng ibu lagi, gue ngerengek sendirian di kamar. Terakhir gue sakit, baru mules sedikit langsung lari ke kamar ibu minta di elus-elus perut gue. Sekarang nggak ada. Ibu gue lagi di kampung. Sedih.

***

Lanjut ke Senin pagi. Siap sarapan, gue langsung obatan terus lanjut tidur. Siangnya baru ke kampus. Tepatnya ke perpus kampus. Gue keluarin dompet ambil KTM buat dapat nomer rak penyimpanan tas. Pas gue lihat dompetnya, tenyata kartu ATM gue hilang. Gue mulai panik, tapi gue tahan. Semenit dua menit pikiran gue mulai kacau. Mikirin ATM gue yang hilang. Gue tetap santai mencoba fokus niat ngerjain tugas. Habis simpan tas di rak, gue naik ke lantai dua cari-cari tempat duduk yang kosong.

Baru duduk naro pantat, gue sudah angkat pantat lagi. Gue nggak fokus. Nggak fokus gegara mikirin kamu. Iya, kamu yang lagi minum soya. Karena nggak fokus, gue langsung buru-buru urus ATM gue yang hilang. Gue langsung ke Bank tempat gue tarik uang hari Sabtu kemarin, sampai di Bank ternyata harus bikin surat keterangan hilang. Bodoh. Gue lupa. Akhirnya gue ke kantor polisi bikin surat keterangan hilang. Sampai di kantor polisi gue di layani dengan baik dan pelayanannya pun cepat tidak bertele-tele. Namun, ada tapinya. Cewe yang duduk di samping gue, dia juga ngurus kartu ATMnya yang hilang. Masa itu polisi ngucapin selamat ulang tahun sama tu cewe, gue nggak diucapin. Terus yang cewe dilayanin dengan komputer jadi lebih cepat gitu. Kalau gue pakai mesin ketik jadul. Curang.

Selesai bikin surat keterangan hilang, gue balik lagi ke Bank. Mengantri degan nomer antrian B013. Cukup lama juga gue menunggu dan duduk di sofa antrian. Kurang lebih tiga puluh menit gue menunggu. Tapi, tak apa. Mba teller Banknya cakep berkerudung ungu dan bibirnya merah merona kalau dicium pasti seperti strawbery. Asam manis gitu, tapi bikin segar. Hohoho. Mba Nita namanya. Hmm. Namanya terlalu mudah untuk wanita secantik dia. Hohohohoh. Satu dua kali gue curi-curi pandang sambil kasih senyum ganteng gue ke mbanya.

Akhirnya nomer antrian gue dipanggil. Dengan pede gue datang ke meja mba Nita, dia kasih salam, suruh gue duduk, dan akhirnya kita malah keasyikan ngobrol sampai Banknya tutup. Setelah obrolan pembuka atas keluhan ATM gue yang hilang. Mba Nita menduga kalau kartu ATM gue tertelan mesin ATM. Setelah dicek ke mesin ATMnya, ternyata benar ada kartu ATM gue di dalam mesin. Urusan ini pun solved.

“Ini kartunya, A. Setelah kami cek ternyata kartunya ada di dalam mesin. Jadi, tidak kami ganti dengan yang baru,” jelas Mba Nita.
“Wah, iya terima kasih, Neng,” balas gue.
“Sama-sama. Ada yang bisa kami bantu lagi, A?” Tanya Mba Nita.

Sejak awal ngobrol, gue sebenarnya mau minta pin Bbnya. Tapi, lidah gue kelu. Dan gue balas pertanyaan terakhirnya dengan gelengan kepala. Sekembalinya kartu ATM itu ke tangan gue lagi, gue langsung pulang dan masuk ke kamar. Di kamar, gue masih kepikiran sama teller Banknya. Dan malam harinya demam gue naik lagi. :(

Sedikit tips, kalau ambil duit di mesin ATM. Setelah duitnya keluar lebih baik ambil dan simpan kartu ATMnya dahulu baru ambil dan simpan duitnya. Mungkin dari kalian ada yang mau menambahkan. Silakah kasih tips kalian di kolom komentar bawah.

Sudah, ya. Itu saja cerita gue kali ini. Hmm. See you ~


Senin, 21 September 2015

Kesendirian

Hah. Sudah hampir dua Minggu blog gue tidak kasih makan. Intensitas gue menulis di blog sudah mulai menurun. Payah. Padahal belum genap satu tahun gue punya blog. Tapi, gue punya alasan tersendiri kenapa gue mulai jarang update blog lagi.

Sepenghilangnya gue di blog, karena beberapa hari kebelakang ini gue menghabiskan waktu untuk bertapa. Mencari kesunyian ditengah carut-marutnya Ibukota. Sunyi dengan kesendirian. Mengasingkan diri ke sebuah tempat yang gue juga nggak tahu itu tempat apa.

Belajar dari keberhasilan di puisi pertama gue bertajuk Untitle tersebut, gue mencoba membuat puisi kembali. Hampir setiap malam setelah letih dari aktivitas keseharian, gue menenangkan diri duduk sila di tengah-tengah ruang belajar. Memangku tangan di atas paha dan membentuk pola jari seperti patung Budha.

Dalam posisi seperti itu, pikiran gue mulai tenang. Mulai memikiran puisi apa yang akan gue buat. Dan gue juga mulai menarik nafas dalam-dalam dari lubang hidung dan dikeluarkan menuju lubang dubur. Suara yang indah serta beraroma sangat sedap. Sungguh nikmat tiada tara. Coba banyangkan kalau tidak bisa kentut, itu sungguh tidak enak banget. Perut berasa kembung kebanyakan angin dan jadi sudah tidur.

Singkat cerita dari hasil bertapa itu gue berhasil menelurkan tiga puisi secara berangsur-angsur. Ternyata pengasingan diri gue tidak sia-sia. Tiga puisi tesebut bertema Kesendirian. Kenapa temanya Kesendirian? Iya, karena gue sudah telalu lama sendiri.

Oke tak perlu berlama-lama, berikut ini tiga puisi gue. Hasil dari bertapa selama berhari-hari.

Hampa
…...........................
…...........................
…...........................
           …...........................
           …...........................
           …...........................
…...........................
…...........................
           Terima kasih.

Sunyi
…...........................
…...........................
        …...........................
        …...........................
…...........................
…...........................
       Sekian.

Hening
…...........................
…...........................
           …...........................
           …...........................
…...........................
…...........................
           Tamat.

Sebagai penutup, gue minta kritik dan saran kalian dari tiga puisi gue. Mohon komentarnya teman-teman. Terima kasih.

Sabtu, 12 September 2015

Surat Untuk Nona #8

Halo Nona Nay. :)
Apa kabarmu? Semoga sehat selalu.

Iya. Sudah hampir dua Minggu aku menunggu surat balasan darimu. Setiap pulang dari aktivitas keseharianku, aku selalu mampir ke teras rumah. Melihat dan memeriksa isi kotak surat rumahku. Setiap aku tengok kotak tua itu selalu saja tidak ada surat dan kabar darimu. Hanya ada surat lain dari layanan asuransiku yang kini sudah menumpuk di meja ruang tengah.

Aku sempat khawatir dan galau. Aku kira kamu sudah lupa denganku. Sempat terpikir olehku untuk mengabarkan surat lainnya untukmu. Tapi, niat mengirimkan surat lainnya untukmu, aku batalkan. Aku hanya takut dinilai cerewet olehmu. Dan takut juga mengganggu kesibukkanmu. Kegelisahanku menanti surat balasan darimu sudah aku ceritakan kepada gadis teduhku. Ia selalu menenangkanku dan mengatakan, 'mungkin nona sedang sibuk, bersabar lah!'. Ucapnya selalu begitu.

Nona, aku baru saja mendapatkan gadis teduhku. Saking teduh kantung matanya terlihat teduh seperti bayangan pohon petai yang terbentuk dari sinar matahari. Teduh dan sejuk. Kenapa pohon petai? Iya, Nona. Gadis teduhku ini dia suka sekali petai. Bahkan dia juga suka dengan jengkol.

Nona, apakah kamu suka juga dengan petai dan jengkol?

Oh, iya. Maaf tawaranmu mengenai lelaki teduh sepertinya aku tolak. Selain karena aku sudah mendapatkan gadis teduh. Aku juga menebak bahwa lelaki teduh itu Paber, kan? Tidak, Nona. Terima kasih. Lelaki teduh itu untukmu saja. Aku sudah cukup dan bersyukur dengan gadis teduhku ini. Dia datang dari masa depan. Dia gadis teduhku, Non. Waktunya lebih cepat satu Minggu dari waktuku. Itu alamat yang dia tulis di gubuk mayanya, Non. Kamu pasti kenal dengan gadis teduhku ini, Non.

Nona, ternyata liburanmu cukup menyibukkanmu, ya. Aku membayangkan kamu yang kerepotan dengan membagi waktumu untuk kuliah semester pendekmu, dan membuat waktu untuk mengurus keluarga barumu. Btw, bagaimana kabar kerluargamu? Ran dan Run itu? Semoga mereka akur, ya. Dan tidak rebutan makan biskuit Whiskas.

Untuk liburanku, aku lebih banyak berleha lehanya, Non. Menghabiskan waktuku dengan tumbukan PR di rumahku. Tumbukan buku di rumah yang belum sempat aku baca habis. Serta jejeran dan jajaran stok film di netbook. Aku belum sempat melahapnya semua. Itulah pr pr ku. Liburanku habis dengan mereka saja. Benda benda sialan itu.

Nona, ada sesuatu hal yang mengganjal dalam diriku. Sudah lama kita tidak bertemu. Bermain di alun-alun bersama seperti dulu. Kapan kita bisa bermain lagi di alun-alun kota, Non?


Salam meong

Seorang Hamba


Surat Untuk Nona
Surat Untuk Nona #8

Kamis, 27 Agustus 2015

Untitle

Beberapa hari lalu, kalau tidak salah tanggal duapuluh dua bulan delapan. Gue diingatkan seseorang akan sebuah hutang. Hutang atas kekalahan gue bermain anu bersama dia. Sesuai peraturan, yang kalah harus membuat puisi. Puisinya bebas. Boleh tentang hewan, tumbuhan, dll. Entah siapa yang memulai bikin peraturan seperti itu. Yang jelas, gue berharap supaya tidak kalah. Karena memang gue belum pandai membuat syair-syair.

Singkat cerita permainan dimulai malam hari. Iya malam. Gue mulai mengeluarkan anu gue. Lalu anu gue di sambung dengan anunya. Setelah masing-masing dari kita mengeluarkan anu-anunya. Akhirnya gue kalah. Dan gue mendapatkan punishment membuat puisi. Di malam itu, gue tidak langsung bisa bikin puisi. Mungkin, setelah bermain anu dengannya, gue kehabisan kata-kata. Dan besok sorenya, tanggal duapuluh dua itu, gue coba bikin. Dan inilah hasilnya. Hahahaha. Cekidot.


Untitle

Saat sepi datang bertemu,
hatiku tak tahu rasanya rindu.
Mematikan hatiku,
yang kini telah membeku.

Saat sepi datang bertamu,
kau datang bagaikan candu.
Mengubah hatiku yang membatu,
menjadi selembut salju.

Karenamu,
kini ku tahu namanya merindu.
Terima kasihku,
Untukmu dirinduku.

Kucing musalahku.

-kusumah.darma-

Bagaimana puisinya? Standard banget, kan.
Niatnya nggak mau dipos. Tapi, sekedar update saja. Siapa tahu dapat masukan dari kalian para pembaca. 

Oh iya. Titip doanya. Katanya dia lagi kurang sehat.
Sudah, ah. See you ~
A photo posted by Darma Kusumah (@kusumah_darma) on

Senin, 24 Agustus 2015

Copet di Kopaja

Beberapa hari lalu gue pulang. Pulang dari rumah teman di Pasar Minggu menuju Lebak Bulus. Seperti biasa kalau dari situ, gue selalu pulang naik mobil kaleng. Kopaja nomer 20. Kopaja reguler jurusan Senen – Lebak Bulus, bukan yang AC.

Hampir tiap naik kopaja nomer 20, gue selalu dihadapkan dengan peristiwa yang membuat kesal dan jengkel. Gue melihat aksi copet yang mencuri. Pas saat gue naik, tidak jauh kemudian ada seorang ibu bersama bapak -mungkin itu suaminya- turun dari kopaja. Tepat di belakang bapak itu ada dua pemuda yang juga ingin ikut turun -tapi, pura pura mau turun. Satu pemuda menggendong tasnya ke depan. Gue rasa tas itu tidak ada isinya. Terlihat ringan di mata dan tanpa isi. Dan satu pemuda lagi mendorong pemuda yang membawa tas kosong itu. Saat adegan dorong-dorong itu pemuda yang bawa tas di depan, melakukan aksinya.

Kantong celana belakang bapak yang ingin turun itu dirogoh, lalu diambil benda biru yang ada di kantong belakang. Entah itu handphone atau dompet. Saat melihat itu sontak gue kesal. Gue benar-benar melihat jelas kejadian itu. Awalnya gue ingin menghentikan kejahatan itu, lalu berteriak maling. Tapi, gue hanya bisa mendongkol dalam hati. Setelah melakukan aksi itu dua pemuda maling tidak turun dari kopaja. Sepertinya mereka masih mau melakukan aksinya. Dan betul dugaan gue. Pemuda bertas itu mulai mendekati dua wanita yang duduk di bagian depan dekat sopir. Kali ini gue tidak mau kecolongan aksinya lagi. Gue harus bisa menghajar maling itu, itu tekad dalam hati. Gue pun ikut menghampiri tempat duduk mereka. Tempat duduk maling dan dua wanita di depan.

Sedikit so-so-an gue mengepalkan dan membunyikan jari-jari. Bergaya seperti hendak ingin memukul seseorang Lumayan, itu bisa membuat gue terlihat sangar dan ngocol. Ditambah rambut gue yang saat itu masih panjang dan gondrong. Satu wanita yang diincar maling itu turun, gue langsung sigap menghalang-halangi langkah dua maling itu. Iya, akhirnya gue rasa wanita itu selamat, dan tidak ada benda yang diambil dari wanita itu. Tapi, setelah itu ada pemuda lain yang duduk jauh dari belakang datang mendekati gue dan menepuk bahu gue. Pemuda dengan paras seperti orang ambon. Terlihat kuli bangunan berkulit gelap. Tanda gue sadari sepertinya gerak-gerik gue sudah diperhatikan oleh pemuda ambon itu. Sepertinya dia masih anggota copet. Pemuda ambon itu tampak kesal. Karena, gue menggagalkan aksi temannya. Pemuda ambon itu menepuk dan menanyakan gue turun di mana. Gue hanya membalasnya dengan tatapan dan menunjuk ke kaca depan mobil. Tanpa kata-kata.

Tidak sampai di situ. Masih ada dua wanita lagi di dalam kopaja. Setidaknya kurang lebih ada 11 orang lagi dalam kopaja itu. Gue dan dua wanita, supir, dua maling pertama, pemuda ambon, dan empat pemuda yang duduk dibelakang kopaja. Gue mencurigai pemuda-pemuda yang ada di kopaja kecuali, gue dan supir, mereka adalah gerombolan copet. Karena asumsi itu, gue membayangkan kalau seandainya aksi pertama yang gue lihat tadi, lalu gue berteriak copet. Pasti gue sudah dihajar habis oleh komplotan pemuda itu.

Akhirnya kopaja itu memasuki pemberhentian terakhir. Gue pun langsung menjaga wanita yang di depan dekat gue turun dari kopaja. Dan sayang, satu wanita yang duduk di belakang tidak bisa gue cover. Gue dan wanita yang duduk di depan turun bersamaan. Wanita itu dulu yang turun baru gue menyusul. Setelah turun dari kopaja, gue mulai sedikit menjauh dari wanita itu. Namun, tidak lama ada pemuda lainnya datang mendekati wanita itu. Dengan jelas pemuda itu menggerakkan tanggannya ingin membuka tas wanita itu. Gue langsung mendekati pemuda itu, lalu menepuk tangannya. Akhirnya gue tarik wanita itu, dan membawanya menjauh dari pemuda pemuda yang turun terakhir dari kopaja. Lalu gue sedikit bercakap ke wanita itu, menjelaskan aksi copet di kopaja yang sudah berhasil mendapatkan dua korban. Dan bertanya apakah ada barangnya yang hilang.

Sebenarnya banyak rawan di dalam angkutan umum. Tidak hanya di dalama kopaja nomer 20 jurusan Senen – Lebak bulus, Mayasari nomer 57 jurusan Blok M – Pulogadung dan beberapa lainnya pun pasti ada pencopet di dalamnya. Dan pencopet itu biasanya lebih dari 2 orang. Kadang, mungkin kita kalah suara dan berbalik malah kita yang dituduh copet. Alhamdullillah, waktu kejadian itu gue selamat. Mungkin, berkat doa orangtua.

Sedikit tips aman saat di dalam kopaja, berdoa sebelum dan sesudah naik, siapkan uang pas untuk ongkos yang sudah dipegang di tangan. Jangan main handphone, dan mengeluarkan dompet saat di dalam kopaja. Simpan barang berharga di dalam tas. Tas ditaruh di depan sehingga terjangkau dari pandangan mata. Jaga tas dengan baik, dan posisikan kancing seleting tas supaya terjangkau oleh mata dan tangan. Setelah turun periksa kembali barang bawaan.

Maaf kalau tipsnya rada rada kurang. Ini sebenarnya cuma mau berbagi cerita. Mungkin, kalian yang punya tips yang lebih aman. Silakan berbagi dan komentar di kolom komentar bawah. Terima kasih.

Minggu, 23 Agustus 2015

Nyamuk di Stasiun

Huh.. Aku mulai suntuk mengerjakan tugas kuliahku. Sudah hampir 120 menit aku berkutat dan menyendiri di dalam kamarku. Sudah hampir 120 menit juga, aku membenturkan isi kepalaku dengan layar netbookku.

Sedikit aku mulai memberikan jarak di kepalaku . Bukan. Bukan daun jarak yang ku maksud. Tapi, ruang sela antara isi kepalaku dengan penatku. Aku yang mulai jenuh dengan tugas kuliah memutuskan untuk berhenti. Berhenti sejenak mengerjakan tugas kuliah dan memilih untuk memikirkan hal lain. Seperti merencanakan hal untuk pergi ke suatu tempat, misalnya. Aku mulai mencari pemandangan lain di sisi kamarku, melemparkan pandanganku ke sisi kiri kamar. Sisi dimana aku bisa melihat cuaca hari ini dari balik jendela kamarku.

Tetiba aku ingat kejadian di kantin kampus beberapa hari lalu. Kejadian saat aku berjumpa dengan temanku di sana. Gadis yang aku jumpai di sana. Ada yang khas dari gadis itu. Selain memiliki dada besar, dia juga memiliki harum tubuh yang seperti obat nyamyuk beraromakan kulit jeruk. Sepertinya aku akan memanggilnya gadis soffel.

Aku mulai memikirkan rencana untuk mengajak dia jalan. Lagi pula, kemarin dia sepertinya mau aku ajak jalan. Aku mulai mengambil sepotong kertas dari dompetku. Kertas yang bertuliskan alamat e-mailnya. Kertas yang kemarin ia berikan padaku.

Mulaiku memainkan jari. Membiarkan isi kepala dan jariku menyatu. Jariku menari dan merangkai kata di tombol netbookku. Membuat kata dan kalimat serupa undangan, tuk mengajak gadis soffel jalan bersamaku.

“Sore ini? Iya boleh saja. Memang kamu mau ajak aku jalan ke mana?” balasnya dalam e-mail.
“Entahlah. Kamu kan lebih tahu tentang negeri ini. Yang jelas antarkan aku ke tempat serupa toko buku.” balasku padanya.
“Oh. Kalau begitu kita ke stasiun dekat rumahku saja. Stasiun Hakata. Di sana ada Gramedia, kalau tidak salah.” katanya memberikan jawaban.
“Ok. Jam 17:00 ketemuan di stasiun Hakata, ya!” kataku memutusan.

Janji sudahku buat, sekarang aku harus bergegas mandi, dan merapihkan diri. Saat aku masuk kamar mandi, aku baru ingat, sumur di kosanku sedang kering. Hanya ada air satu gayung, ini pun aku hemat untuk keperluan eek dan pipisku. Aku memutuskan untuk cuci muka dan ketekku saja. Aku sudah dimakan waktu. Lima belas menit lagi waktu menempati pukul 17:00. Aku yang selesai mencuci muka, mendadak panik dan buru-buru pergi ke tempat janji. Bermodalkan pakaian terbaikku dan parfum hamalku, aku nekat bertemu dengannya dalam keadaan belum mandi. Semoga saja dia tidak tahu.

17:03 waktu bagian Jepang. Aku tiba di stasiun Hakata. Dari kejauhan aku bisa melihat dirinya sedang mensedekapkan kedua tangannya, menungguku di depan loket karcis. Mengenakan kaos hitam dengan celana jins biru gelap, dan tak luput kardigan ungu yang membalut tubuhnya yang indah. Sedikit wajahnya mirip dengan Kak Rose dalam film Upin Ipin. Jutek namun, menggemaskan. Rambutnya yang panjang dan ikal di ujungnya, diikat satu seperti ekor kuda. Menambah kesan manis pada dirinya. Sempurna.

Aku tahu bahwa itu adalah dia, si gadis soffel. Tentu saja aku tahu, dia adalah satu-satunya gadis paling aneh di sana. Aku sengaja mensugestikan diriku, bahwa dia adalah gadis aneh. Dengan begitu, aku berharap, aku tidak akan suka padanya. Meski sebenarnya. Sudahlah lupakan itu. Aku buru-buru lari menghampiri dirinya. Aku merasa malu karena telat 3 menit.

Huft... Maaf aku telat.” kataku sedikit menahan letih.
Plaaakk” dia menamparku, tamparan telak di pipi kananku.
“Kok, aku ditampar?” tanyaku heran.
“Iya. Itu tadi ada nyamyuk di pipimu. Kamu belum mandi, ya? Kok, dinyamukin gini.” katanya pajang.
“Masa sudah wangi begini dibilang belum mandi. Sudahlah, di mana toko bukunya?” kataku mengalihkan pembicaraan.

Setelah berjumpa dengannya di stasiun Hakata, kami beranjak pergi ke Gramedia yang tidak jauh dari sana. Di sepanjang perjalanan kami banyak bertukar cerita. Tentang dirinya, tentang diriku, tentang kita. Sedikit aku menemukan poin-poin penting tentang dirinya. Dia adalah anak kedua dari empat bersaudara. Dia suka sekali makan mie, suka minum susu padahal dia punya susu, dan suka jus alpukat. Kalau tidur selalu pakai selimut. Dan bulan depan adalah bulan kelahirannya. Baru itu saja yang aku tahu tentangnya.

Tiba di dalam toko buku kita berpencar. Seakan masing masing dari kami ingin mencari buku yang kita inginkan masing-masing. Awalnya aku menawarkan diri untuk membelikan dia satu buku. Namun, ia menolaknya. Dia lebih memilih meminta jajan untuk ditraktir makan mie di rumah makan dekat stasiun juga. Setelah satu jam lebih berkeliling di toko buku, aku berhasil membawa pulang tiga buku. Dua buku novel, dan satu buku kamus tejemahan.

Sekembalinya kita berpencar, dia langsung saja menagih janjiku untuk mentraktirnya malam ini. Mentraktirnya untuk makan mie di rumah makan dekat stasiun, yang tidak jauh dari toko buku. Tanpa basa basi dia langsung menarik tanganku, dan menyeretku pergi ke rumah makan yang ia maksud.

Entahlah. Saat dia menyentuh tanganku, nafasku seakan berhenti, waktu seakan melambat. Dan bayangku, terbang melayang memikirkan masa depan bersamanya. Kahlil Gibran pernah berkata “saat tangan laki-laki dan perempuan bersentuhan, saat itulah mereka berdua telah menyentuh keabadian.” Aku sebenarnya kurang paham perkataan si penyair itu. Perkataannya yang aku dapatkan dari timeline pada salah satu media sosial. Tapi, apa mungkin yang dimaksudnya itu seperti yang saat ini aku rasakan. Entahlah.

Diriku seakan pasrah, saat tangannya menarik tanganku. Membawaku pergi entah ke mana. Berlari bersama melewati jejaran dan jajaran ruko di sepanjang jalan. Lalu berhenti depan rumah makan mie.

“Kita akan makan di sini. Ini tempat langgakanku.” katanya dengan riang “kamu yang bayarin kan?” katanya melanjutkan.
“Iya aku yang bayar. Makan saja sepuasmu.” jawabku menyombong.
“Hahahahhaha. Porsi makanku banyak, loh.” jawabnya menjelaskan.

Dan benar saja. Saat kita duduk di meja makan nomor empat belas. Dia memesan tiga mangkok mie. Dua mangkok untuknya, dan satu mangkok untukku. Dilanjut lagi dengan memesan dua gelas susu soya, satu jus alpukat, dan segelas air putih.

Sambil menunggu pesanan tiba, kita saling bercerita tentang masa SD dan SMP dulu. Aku bercerita tentang masa SD ku yang dulu pernah masuk ke dalam toilet cewe waktu bermain petak umpat. Dan di dalam toilet ada adik kelas yang sedang pipis. Lalu, ia bercerita tentang masa SD nya yang selalu di antar jemput oleh bus sekolah.

Usai bercerita dan makan malam saat itu, aku langsung merogoh saku celanaku. Bersegera tuk mengambil dompet dan membayar semua pesanan di meja. Namun, aku mulai panik. Mendapati bahwa dompetku tidak ada di saku celana, tempat biasa aku menaruh dompet. Sesaat aku sadar, ketika pulang dari toko buku menuju rumah makan ini, ada orang yang menabrakku di jalan. Sepertinya aku telah kemalingan.

“Maaf, kamu bawa uang lebih, tidak?” kataku memelas.
“Kenapa? Jangan bilang uangmu kurang?” balasnya sedikit panik.
“Bukan. Sepertinya dompetku hilang, dicuri orang sewaktu jalan ke sini.” kataku menjelaskan.
“Yah. Terus ini siapa yang bayar? Aku tidak bawa uang.” jawabnya panik.
“Hmm. Disini tidak bisa ngutang dulu, ya?” tanyaku tak memberi solusi.

Mendengar pembicaraan kami, seorang pelayan langsung menelpon entah siapa dari meja kasir. Tidak lama setelah itu seorang pelayan datang bersama pria berbadan besar. Sepertinya dia adalah pemilik rumah makan ini. Kita pun melakukan negoisasi. Dan mendapat hukuman untuk mencuci puluhan piring kotor sebagai bayarannya. Satu jam sudah kita membersihkan piring kotor. Yang tadinya kenyang kini menjadi lapar kembali.

Waktu sudah malam. Mau tidak mau aku harus mengantarkan gadis soffel pulang. Kita pun jalan pulang bersama menuju rumahnya yang tidak jauh dari rumah makan dan stasiun. Sedikit langkahnya sudah mulai gontai dan melambat. Aku khawatir ia akan pingsan di jalan.

“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Aku ngantuk, ini sudah jamnya aku tidur” jawabnya.
“Naiklah ke pundakku, biar ku gendong dan ku antar pulang” pintaku menawarkan diri sambil jongkok di depannya..
“Tak usah, rumahku dekat dari sini." katanya sedikit menolak.
“Hei, jangan tolak niat baik seseorang, dong. Naiklah." pintaku merajuk.

Setelah bujuk rayu yang cukup lama, akhirnya dia naik ke pundakku. Awalnya aku kesulitan membawanya. Ternyata dia cukup berat dari apa yang kubayangkan. Kurasa yang membuat dirinya berat adalah dadanya yang besar.

Akhirnya malam ini kita pulang bersama. Tidak lama setelah itu, ia tertidur dipundakku. Aku yang sedikit kerepotan masih melanjutkan jalan mengikuti rute yang telah ia tunjukkan sebelumnya. Sambil ditemani angin malam yang cukup dingin. Sesekali aku membaui tubuhnya yang harum, seperti obat nyamuk. Aku dihadapannya bagaikan nyamuk tak berdaya, terbius mati oleh harum tubuhnya.