Kamis, 27 Agustus 2015

Untitle

Beberapa hari lalu, kalau tidak salah tanggal duapuluh dua bulan delapan. Gue diingatkan seseorang akan sebuah hutang. Hutang atas kekalahan gue bermain anu bersama dia. Sesuai peraturan, yang kalah harus membuat puisi. Puisinya bebas. Boleh tentang hewan, tumbuhan, dll. Entah siapa yang memulai bikin peraturan seperti itu. Yang jelas, gue berharap supaya tidak kalah. Karena memang gue belum pandai membuat syair-syair.

Singkat cerita permainan dimulai malam hari. Iya malam. Gue mulai mengeluarkan anu gue. Lalu anu gue di sambung dengan anunya. Setelah masing-masing dari kita mengeluarkan anu-anunya. Akhirnya gue kalah. Dan gue mendapatkan punishment membuat puisi. Di malam itu, gue tidak langsung bisa bikin puisi. Mungkin, setelah bermain anu dengannya, gue kehabisan kata-kata. Dan besok sorenya, tanggal duapuluh dua itu, gue coba bikin. Dan inilah hasilnya. Hahahaha. Cekidot.


Untitle

Saat sepi datang bertemu,
hatiku tak tahu rasanya rindu.
Mematikan hatiku,
yang kini telah membeku.

Saat sepi datang bertamu,
kau datang bagaikan candu.
Mengubah hatiku yang membatu,
menjadi selembut salju.

Karenamu,
kini ku tahu namanya merindu.
Terima kasihku,
Untukmu dirinduku.

Kucing musalahku.

-kusumah.darma-

Bagaimana puisinya? Standard banget, kan.
Niatnya nggak mau dipos. Tapi, sekedar update saja. Siapa tahu dapat masukan dari kalian para pembaca. 

Oh iya. Titip doanya. Katanya dia lagi kurang sehat.
Sudah, ah. See you ~
A photo posted by Darma Kusumah (@kusumah_darma) on

Senin, 24 Agustus 2015

Copet di Kopaja

Beberapa hari lalu gue pulang. Pulang dari rumah teman di Pasar Minggu menuju Lebak Bulus. Seperti biasa kalau dari situ, gue selalu pulang naik mobil kaleng. Kopaja nomer 20. Kopaja reguler jurusan Senen – Lebak Bulus, bukan yang AC.

Hampir tiap naik kopaja nomer 20, gue selalu dihadapkan dengan peristiwa yang membuat kesal dan jengkel. Gue melihat aksi copet yang mencuri. Pas saat gue naik, tidak jauh kemudian ada seorang ibu bersama bapak -mungkin itu suaminya- turun dari kopaja. Tepat di belakang bapak itu ada dua pemuda yang juga ingin ikut turun -tapi, pura pura mau turun. Satu pemuda menggendong tasnya ke depan. Gue rasa tas itu tidak ada isinya. Terlihat ringan di mata dan tanpa isi. Dan satu pemuda lagi mendorong pemuda yang membawa tas kosong itu. Saat adegan dorong-dorong itu pemuda yang bawa tas di depan, melakukan aksinya.

Kantong celana belakang bapak yang ingin turun itu dirogoh, lalu diambil benda biru yang ada di kantong belakang. Entah itu handphone atau dompet. Saat melihat itu sontak gue kesal. Gue benar-benar melihat jelas kejadian itu. Awalnya gue ingin menghentikan kejahatan itu, lalu berteriak maling. Tapi, gue hanya bisa mendongkol dalam hati. Setelah melakukan aksi itu dua pemuda maling tidak turun dari kopaja. Sepertinya mereka masih mau melakukan aksinya. Dan betul dugaan gue. Pemuda bertas itu mulai mendekati dua wanita yang duduk di bagian depan dekat sopir. Kali ini gue tidak mau kecolongan aksinya lagi. Gue harus bisa menghajar maling itu, itu tekad dalam hati. Gue pun ikut menghampiri tempat duduk mereka. Tempat duduk maling dan dua wanita di depan.

Sedikit so-so-an gue mengepalkan dan membunyikan jari-jari. Bergaya seperti hendak ingin memukul seseorang Lumayan, itu bisa membuat gue terlihat sangar dan ngocol. Ditambah rambut gue yang saat itu masih panjang dan gondrong. Satu wanita yang diincar maling itu turun, gue langsung sigap menghalang-halangi langkah dua maling itu. Iya, akhirnya gue rasa wanita itu selamat, dan tidak ada benda yang diambil dari wanita itu. Tapi, setelah itu ada pemuda lain yang duduk jauh dari belakang datang mendekati gue dan menepuk bahu gue. Pemuda dengan paras seperti orang ambon. Terlihat kuli bangunan berkulit gelap. Tanda gue sadari sepertinya gerak-gerik gue sudah diperhatikan oleh pemuda ambon itu. Sepertinya dia masih anggota copet. Pemuda ambon itu tampak kesal. Karena, gue menggagalkan aksi temannya. Pemuda ambon itu menepuk dan menanyakan gue turun di mana. Gue hanya membalasnya dengan tatapan dan menunjuk ke kaca depan mobil. Tanpa kata-kata.

Tidak sampai di situ. Masih ada dua wanita lagi di dalam kopaja. Setidaknya kurang lebih ada 11 orang lagi dalam kopaja itu. Gue dan dua wanita, supir, dua maling pertama, pemuda ambon, dan empat pemuda yang duduk dibelakang kopaja. Gue mencurigai pemuda-pemuda yang ada di kopaja kecuali, gue dan supir, mereka adalah gerombolan copet. Karena asumsi itu, gue membayangkan kalau seandainya aksi pertama yang gue lihat tadi, lalu gue berteriak copet. Pasti gue sudah dihajar habis oleh komplotan pemuda itu.

Akhirnya kopaja itu memasuki pemberhentian terakhir. Gue pun langsung menjaga wanita yang di depan dekat gue turun dari kopaja. Dan sayang, satu wanita yang duduk di belakang tidak bisa gue cover. Gue dan wanita yang duduk di depan turun bersamaan. Wanita itu dulu yang turun baru gue menyusul. Setelah turun dari kopaja, gue mulai sedikit menjauh dari wanita itu. Namun, tidak lama ada pemuda lainnya datang mendekati wanita itu. Dengan jelas pemuda itu menggerakkan tanggannya ingin membuka tas wanita itu. Gue langsung mendekati pemuda itu, lalu menepuk tangannya. Akhirnya gue tarik wanita itu, dan membawanya menjauh dari pemuda pemuda yang turun terakhir dari kopaja. Lalu gue sedikit bercakap ke wanita itu, menjelaskan aksi copet di kopaja yang sudah berhasil mendapatkan dua korban. Dan bertanya apakah ada barangnya yang hilang.

Sebenarnya banyak rawan di dalam angkutan umum. Tidak hanya di dalama kopaja nomer 20 jurusan Senen – Lebak bulus, Mayasari nomer 57 jurusan Blok M – Pulogadung dan beberapa lainnya pun pasti ada pencopet di dalamnya. Dan pencopet itu biasanya lebih dari 2 orang. Kadang, mungkin kita kalah suara dan berbalik malah kita yang dituduh copet. Alhamdullillah, waktu kejadian itu gue selamat. Mungkin, berkat doa orangtua.

Sedikit tips aman saat di dalam kopaja, berdoa sebelum dan sesudah naik, siapkan uang pas untuk ongkos yang sudah dipegang di tangan. Jangan main handphone, dan mengeluarkan dompet saat di dalam kopaja. Simpan barang berharga di dalam tas. Tas ditaruh di depan sehingga terjangkau dari pandangan mata. Jaga tas dengan baik, dan posisikan kancing seleting tas supaya terjangkau oleh mata dan tangan. Setelah turun periksa kembali barang bawaan.

Maaf kalau tipsnya rada rada kurang. Ini sebenarnya cuma mau berbagi cerita. Mungkin, kalian yang punya tips yang lebih aman. Silakan berbagi dan komentar di kolom komentar bawah. Terima kasih.

Minggu, 23 Agustus 2015

Nyamuk di Stasiun

Huh.. Aku mulai suntuk mengerjakan tugas kuliahku. Sudah hampir 120 menit aku berkutat dan menyendiri di dalam kamarku. Sudah hampir 120 menit juga, aku membenturkan isi kepalaku dengan layar netbookku.

Sedikit aku mulai memberikan jarak di kepalaku . Bukan. Bukan daun jarak yang ku maksud. Tapi, ruang sela antara isi kepalaku dengan penatku. Aku yang mulai jenuh dengan tugas kuliah memutuskan untuk berhenti. Berhenti sejenak mengerjakan tugas kuliah dan memilih untuk memikirkan hal lain. Seperti merencanakan hal untuk pergi ke suatu tempat, misalnya. Aku mulai mencari pemandangan lain di sisi kamarku, melemparkan pandanganku ke sisi kiri kamar. Sisi dimana aku bisa melihat cuaca hari ini dari balik jendela kamarku.

Tetiba aku ingat kejadian di kantin kampus beberapa hari lalu. Kejadian saat aku berjumpa dengan temanku di sana. Gadis yang aku jumpai di sana. Ada yang khas dari gadis itu. Selain memiliki dada besar, dia juga memiliki harum tubuh yang seperti obat nyamyuk beraromakan kulit jeruk. Sepertinya aku akan memanggilnya gadis soffel.

Aku mulai memikirkan rencana untuk mengajak dia jalan. Lagi pula, kemarin dia sepertinya mau aku ajak jalan. Aku mulai mengambil sepotong kertas dari dompetku. Kertas yang bertuliskan alamat e-mailnya. Kertas yang kemarin ia berikan padaku.

Mulaiku memainkan jari. Membiarkan isi kepala dan jariku menyatu. Jariku menari dan merangkai kata di tombol netbookku. Membuat kata dan kalimat serupa undangan, tuk mengajak gadis soffel jalan bersamaku.

“Sore ini? Iya boleh saja. Memang kamu mau ajak aku jalan ke mana?” balasnya dalam e-mail.
“Entahlah. Kamu kan lebih tahu tentang negeri ini. Yang jelas antarkan aku ke tempat serupa toko buku.” balasku padanya.
“Oh. Kalau begitu kita ke stasiun dekat rumahku saja. Stasiun Hakata. Di sana ada Gramedia, kalau tidak salah.” katanya memberikan jawaban.
“Ok. Jam 17:00 ketemuan di stasiun Hakata, ya!” kataku memutusan.

Janji sudahku buat, sekarang aku harus bergegas mandi, dan merapihkan diri. Saat aku masuk kamar mandi, aku baru ingat, sumur di kosanku sedang kering. Hanya ada air satu gayung, ini pun aku hemat untuk keperluan eek dan pipisku. Aku memutuskan untuk cuci muka dan ketekku saja. Aku sudah dimakan waktu. Lima belas menit lagi waktu menempati pukul 17:00. Aku yang selesai mencuci muka, mendadak panik dan buru-buru pergi ke tempat janji. Bermodalkan pakaian terbaikku dan parfum hamalku, aku nekat bertemu dengannya dalam keadaan belum mandi. Semoga saja dia tidak tahu.

17:03 waktu bagian Jepang. Aku tiba di stasiun Hakata. Dari kejauhan aku bisa melihat dirinya sedang mensedekapkan kedua tangannya, menungguku di depan loket karcis. Mengenakan kaos hitam dengan celana jins biru gelap, dan tak luput kardigan ungu yang membalut tubuhnya yang indah. Sedikit wajahnya mirip dengan Kak Rose dalam film Upin Ipin. Jutek namun, menggemaskan. Rambutnya yang panjang dan ikal di ujungnya, diikat satu seperti ekor kuda. Menambah kesan manis pada dirinya. Sempurna.

Aku tahu bahwa itu adalah dia, si gadis soffel. Tentu saja aku tahu, dia adalah satu-satunya gadis paling aneh di sana. Aku sengaja mensugestikan diriku, bahwa dia adalah gadis aneh. Dengan begitu, aku berharap, aku tidak akan suka padanya. Meski sebenarnya. Sudahlah lupakan itu. Aku buru-buru lari menghampiri dirinya. Aku merasa malu karena telat 3 menit.

Huft... Maaf aku telat.” kataku sedikit menahan letih.
Plaaakk” dia menamparku, tamparan telak di pipi kananku.
“Kok, aku ditampar?” tanyaku heran.
“Iya. Itu tadi ada nyamyuk di pipimu. Kamu belum mandi, ya? Kok, dinyamukin gini.” katanya pajang.
“Masa sudah wangi begini dibilang belum mandi. Sudahlah, di mana toko bukunya?” kataku mengalihkan pembicaraan.

Setelah berjumpa dengannya di stasiun Hakata, kami beranjak pergi ke Gramedia yang tidak jauh dari sana. Di sepanjang perjalanan kami banyak bertukar cerita. Tentang dirinya, tentang diriku, tentang kita. Sedikit aku menemukan poin-poin penting tentang dirinya. Dia adalah anak kedua dari empat bersaudara. Dia suka sekali makan mie, suka minum susu padahal dia punya susu, dan suka jus alpukat. Kalau tidur selalu pakai selimut. Dan bulan depan adalah bulan kelahirannya. Baru itu saja yang aku tahu tentangnya.

Tiba di dalam toko buku kita berpencar. Seakan masing masing dari kami ingin mencari buku yang kita inginkan masing-masing. Awalnya aku menawarkan diri untuk membelikan dia satu buku. Namun, ia menolaknya. Dia lebih memilih meminta jajan untuk ditraktir makan mie di rumah makan dekat stasiun juga. Setelah satu jam lebih berkeliling di toko buku, aku berhasil membawa pulang tiga buku. Dua buku novel, dan satu buku kamus tejemahan.

Sekembalinya kita berpencar, dia langsung saja menagih janjiku untuk mentraktirnya malam ini. Mentraktirnya untuk makan mie di rumah makan dekat stasiun, yang tidak jauh dari toko buku. Tanpa basa basi dia langsung menarik tanganku, dan menyeretku pergi ke rumah makan yang ia maksud.

Entahlah. Saat dia menyentuh tanganku, nafasku seakan berhenti, waktu seakan melambat. Dan bayangku, terbang melayang memikirkan masa depan bersamanya. Kahlil Gibran pernah berkata “saat tangan laki-laki dan perempuan bersentuhan, saat itulah mereka berdua telah menyentuh keabadian.” Aku sebenarnya kurang paham perkataan si penyair itu. Perkataannya yang aku dapatkan dari timeline pada salah satu media sosial. Tapi, apa mungkin yang dimaksudnya itu seperti yang saat ini aku rasakan. Entahlah.

Diriku seakan pasrah, saat tangannya menarik tanganku. Membawaku pergi entah ke mana. Berlari bersama melewati jejaran dan jajaran ruko di sepanjang jalan. Lalu berhenti depan rumah makan mie.

“Kita akan makan di sini. Ini tempat langgakanku.” katanya dengan riang “kamu yang bayarin kan?” katanya melanjutkan.
“Iya aku yang bayar. Makan saja sepuasmu.” jawabku menyombong.
“Hahahahhaha. Porsi makanku banyak, loh.” jawabnya menjelaskan.

Dan benar saja. Saat kita duduk di meja makan nomor empat belas. Dia memesan tiga mangkok mie. Dua mangkok untuknya, dan satu mangkok untukku. Dilanjut lagi dengan memesan dua gelas susu soya, satu jus alpukat, dan segelas air putih.

Sambil menunggu pesanan tiba, kita saling bercerita tentang masa SD dan SMP dulu. Aku bercerita tentang masa SD ku yang dulu pernah masuk ke dalam toilet cewe waktu bermain petak umpat. Dan di dalam toilet ada adik kelas yang sedang pipis. Lalu, ia bercerita tentang masa SD nya yang selalu di antar jemput oleh bus sekolah.

Usai bercerita dan makan malam saat itu, aku langsung merogoh saku celanaku. Bersegera tuk mengambil dompet dan membayar semua pesanan di meja. Namun, aku mulai panik. Mendapati bahwa dompetku tidak ada di saku celana, tempat biasa aku menaruh dompet. Sesaat aku sadar, ketika pulang dari toko buku menuju rumah makan ini, ada orang yang menabrakku di jalan. Sepertinya aku telah kemalingan.

“Maaf, kamu bawa uang lebih, tidak?” kataku memelas.
“Kenapa? Jangan bilang uangmu kurang?” balasnya sedikit panik.
“Bukan. Sepertinya dompetku hilang, dicuri orang sewaktu jalan ke sini.” kataku menjelaskan.
“Yah. Terus ini siapa yang bayar? Aku tidak bawa uang.” jawabnya panik.
“Hmm. Disini tidak bisa ngutang dulu, ya?” tanyaku tak memberi solusi.

Mendengar pembicaraan kami, seorang pelayan langsung menelpon entah siapa dari meja kasir. Tidak lama setelah itu seorang pelayan datang bersama pria berbadan besar. Sepertinya dia adalah pemilik rumah makan ini. Kita pun melakukan negoisasi. Dan mendapat hukuman untuk mencuci puluhan piring kotor sebagai bayarannya. Satu jam sudah kita membersihkan piring kotor. Yang tadinya kenyang kini menjadi lapar kembali.

Waktu sudah malam. Mau tidak mau aku harus mengantarkan gadis soffel pulang. Kita pun jalan pulang bersama menuju rumahnya yang tidak jauh dari rumah makan dan stasiun. Sedikit langkahnya sudah mulai gontai dan melambat. Aku khawatir ia akan pingsan di jalan.

“Kamu kenapa?” tanyaku.
“Aku ngantuk, ini sudah jamnya aku tidur” jawabnya.
“Naiklah ke pundakku, biar ku gendong dan ku antar pulang” pintaku menawarkan diri sambil jongkok di depannya..
“Tak usah, rumahku dekat dari sini." katanya sedikit menolak.
“Hei, jangan tolak niat baik seseorang, dong. Naiklah." pintaku merajuk.

Setelah bujuk rayu yang cukup lama, akhirnya dia naik ke pundakku. Awalnya aku kesulitan membawanya. Ternyata dia cukup berat dari apa yang kubayangkan. Kurasa yang membuat dirinya berat adalah dadanya yang besar.

Akhirnya malam ini kita pulang bersama. Tidak lama setelah itu, ia tertidur dipundakku. Aku yang sedikit kerepotan masih melanjutkan jalan mengikuti rute yang telah ia tunjukkan sebelumnya. Sambil ditemani angin malam yang cukup dingin. Sesekali aku membaui tubuhnya yang harum, seperti obat nyamuk. Aku dihadapannya bagaikan nyamuk tak berdaya, terbius mati oleh harum tubuhnya.

Senin, 17 Agustus 2015

Merayakan

~ Tujuh belas Agustus tahun empat lima ~
~ Itulah hari kemerdekaan kita ~
~ Hari merdeka nusa dan bangsa ~
~ Hari lahirnya bangsa Indonesia ~
~ Merdeka ~

Ada yang tahu itu penggalan lirik dari lagu apa? Iya. Judul dari lirik itu adalah Hari Merdeka atau 17 Agustus 1945.

Dulu sewaktu masih SD setiap hari kemerdekaan tiba, gue selalu ikut lomba lomba kemerdekaan yang diadakan oleh remaja taruna di daerah rumah gue. Lomba yang sering gue ikuti adalah lomba balap karung, balap kelereng, memasukkan benang ke jarum, dan memanah. Iya lomba memanah. Lomba memanah hatimu dengan panah cintaku. Bagaimana gombalan gue? Bagus, kan?

Di tahun lalu sempat heboh dengan lomba-lomba yang berbau tentang cinta, mantan dan gebetan. Seperti lomba makan hati, cepat-cepatan move-on, rebut pacar orang, tarik hati gebetan, tangkap gebetan, masukin mantan ke dalam botol, dll. Mungkin, karena tahun lalu itu adalah ulang tahun ke 69. Enam Sembilan. Hmm. Angka enam sembilan itu memang memiliki arti cinta yang mendalam, ya.

Namun, kali ini gue tidak akan bahas lomba 17-an. Tapi, gue mau ikut merayakan hari kemerdekaan. Dengan cara bikin kuis tebak gambar. Kira-kira kalian mau ikutan, nggak?

Selain sebagai merayakan kemerdekaan RI, gue ngadain kuis ini juga sebagai bentuk selametan gue, lebih tepatnya seru-seruan saja, sih. Karena, blog gue tembus 10 ribu pengunjung. Setelah gue reload seribu kali terakhir tadi. Baru saja. Hehehhehe.

Ok. Lansung saja. Gue mau ngadain kuis tebak gambar. Kalian yang mau ikutan tugasnya gampang banget, kok. Kalian cukup tebak nama lengkap penyanyi cilik dari 5 gambar yang gue sediakan. Kirim jawaban kalian ke email sapa.darma@gmail.com. Jangan lupa untuk mencantumkan namamu dan nomer handphonemu!

Berhubung ini kuis ada dalam rangka 10ribu pengunjung *lebih banyak gue yang reload, sih, jadi, hadiahnya adalah total pulsa 10rb yang dibagi oleh 5 orang pemenang. Yang menjawab dengan cepat dan tepat, dialah yang menang. Batas kuis sampai tanggal 20 Agustus 2015. Bagaimana menarik, bukan? *apanya yang menarik *bodo amat.
Yuk ikutan! Cekidot!

Soal pertama. Siapakah dia?

Soal kedua. Siapakah mereka?

Soal ketiga. Siapakah dia?

Soal keempat. Siapakah dia?

Soal kelima. Siapakah dia?

Selamat mengikuti dan Dirgahayu Indonesiaku yang ke-70 tahun. Terima kasih.
Bonus soal. Apa yang orang itu pikirkan?

Sabtu, 15 Agustus 2015

Perkenalan

Di kampus barat negeri Sakura, aku lapar. Iya, aku lapar. Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Padahal beberapa jam lagi masuk waktu makan siang. Sejak pindah ke Jepang nafsu makanku seakan meningkat double. Tak apalah, daripada nafsu berkembang biak yang bertambah double bisa bahaya. Nanti yang ada aku malah main sama Maria Ozawa atau Sora Aoi.

Aku yang kelaparan akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantin kampus. Ini pertama kalinya aku jajan di kampus. Karena, biasanya aku selalu makan bento, saat aku lapar. Tapi, bento itu untuk makan siangku. Aku mulai beranjak pergi ke kantin. Di kantin, aku mulai menggunakan mataku untuk mencari tahu jajanan apa yang akan ku beli.

Siomay. Aku melihat ada yang berjualan siomay di pojok kanan kantin. Sebenarnya yang mencuri perhatianku bukan siomaynya. Tapi, gadis yang ada di balik gerobak siomay itu. Gadis teduh yang tersenyum manis. Cantik dan manis. Matanya, senyumnya, seakan mantra sihir yang dirapalkan untukku. Aku tersihir olehnya. Dan dadanya. Hmm..

Baiklah aku akan jajan siomay itu dan berkenalan dengan gadis teduh si penjual siomay. Aku mulai mengatur langkah, suara, dan penampilanku, mendekati gadis itu dan gerobaknya. Saat memesan sepiring siomay, hidungku seakan mengenali harum jeruk dari tubuh gadis itu. Iya benar, aku dan hidungku kenal sekaligus akrab dengan harum tubuhnya. Harum yang seperti obat nyamuk. Mungkin aneh. Tapi, aku suka harum tubuhnya.

Sambil menungu pesananku datang di meja. Sesekali aku curi pandang ke dada gadis itu. Ok. Aku terhipnotis oleh dadanya. Tidak, maksudku, aku curi-curi pandang ke wajah gadis itu. Aku duduk memandangi wajahnya yang ayu, aku mulai mengingat-ingat wajah dan harum obat nyamuk di tubuhnya. Dia terlihat mirip dengan teman SD ku. Raisa. Teman SD yang saat itu pindah ke Jepang. Aku mulai menyimpulkan, mungkin benar kalau dia adalah Raisa, teman SD ku dulu.

Dia melihatku. Dengan sigap dia menyilangkan tangannya di depan dadanya. Sial aku ketahuan. Gadis teduh itu mulai datang mendekatiku dan membawa siomay pesananku di tangan kanannya. Dan tangan kirinya bersembunyi dibalik badannya, seperti ada yang disembunyikan dibalik sana. Entahlah.

Selesai ia meletakkan piring dimejaku. Aku memberanikan diri membuka percakapan.

“Hei. Boleh kenalan aku Daruma, orang baru di sini dan asli orang Indonesia. Kamu dari Indonesia juga, kan?” tanyaku sedikit malu.

Dia hanya membalas dengan senyuman, dan aku tersipu malu. Wajahku seakan memerah, semerah bibirnya. Gadis itu mulai duduk satu meja denganku, dia duduk di depanku.

“Iya, aku dari Indonesia. Ada apa?” jawab singkat si gadis teduh.
“Hmm. Biar ku tebak, namamu Raisa KW, bukan? Yang dulu pernah sekolah di SD Bojong Kondang Kecamatan Cidaha?

Aku sengaja menyebutkan lengkap nama SD ku, karena ku takut salah orang.

“Iya, kok, kamu tahu?” tanya Raisa -gadis teduh- mengheran.
“Kamu tidak ingat denganku? Kita pernah pernah satu bangku saat awal masuk di kelas dua. Tapi, seminggu setelah itu, kamu pindah ke Jepang.” jelasku panjang.
“Oh. Maaf, aku tidak ingat.”
“Hah. Sudahku duga. Kamu banyak berubah, ya. Apalagi dadanya, sudah tidak sekecil dulu. Itu asli?” bodoh, celetukan bodohku keluar dari mulutku. Aku malu.
“Hahahaha. Tentu saja ini asli. Kenapa? Kamu mau pegang. Nih!” jawab Raisa sambil menodongkan gir yang tadi disebumbunyikan di balik tubuhnya.

Itu nawawin apa ngancem, sih? Tentu saja aku mau pegang dadamu, Raisa. Astagfirullah.

“Maaf-maaf, aku keceplosan.” sanggahku cepat.
“Hahaahaha. Kamu sedang ada apa di sini? Liburan?” tanya Raisa.
“Tidak, aku sedang melanjutkan studiku di sini untuk beberapa tahun ke depan. Kamu sendiri, kenapa ada di kantin kampus?” tanyaku balik.
“Aku sedang bantu-bantu ayah. Kebetulan tempatku bekerja sedang libur minggu ini.” jawab Raisa.
“Oh. Kamu punya kunci Inggris, nggak?”
“hah? Nggak punya, tuh. Buat apa?” jawab Raisa heran.
“Hmm. Nggak punya, ya. Kalau alamat e-mail punya, kan?”
“Hahaha. Bilang saja mau minta e-mailku.”

Raisa mulai merogoh saku di dadanya, mengeluarkan secarik kertas dan pulpen, kemudian menuliskan alamat e-mailnya.

“Ini. Simpan dan ingat baik-baik, ya.” pinta Raisa sambil menyerahkan sepotong kertas.
“Ok. Terima kasih. Eh. Minggu ini kamu lagi libur, kan? Kapan-kapan kita jalan bareng, yuk! Kenalkan aku dengan seluk beluk negeri Sakura ini. Kamu kan sudah lama tinggal di negeri Sakura ini” pintaku penuh harap.
“Boleh. Kabarkan saja. Kapan waktunya? lewat e-maill, ya!”
“Sudah, ya. Aku mau bantu ayahku lagi. Dah~” lanjut Raisa.

Raisa mulai berdiri dari tempat duduknya, perlahan ia membalikkan badannya. Dan meninggalkan harum obat nyamuk di hidungku.

Sedikit, aku mulai nyaman dengan negeri Sakura ini. Aku bisa bertemu dengan teman lamaku. Walaupun ia tidak mengingatku. Akhirnya aku punya satu teman dari Indonesia juga. Raisa. Teman SD ku, dulu.

Setelah obrolan ringan dan cukup panjang itu, aku sampai lupa memakan siomay yang sudahku pesan. Dan jam sudah menunjukkan waktu masuk pelajaran berikutnya. Akhirnya aku hanya memakan satu sendok saja, lalu beranjak pergi menuju kelas. Tak apa. Aku cukup senang. Anggap saja ini seperti reuni kecil yang hangat. Hangat seperti dada Raisa di mataku. Maaf, maksudku hangat seperti wajah dan matanya yang teduh.

Jumat, 14 Agustus 2015

Surat Untuk Nona #7

Untuk nona yang songong.

Hai nona, aku sudah menerima suratmu. Lagi, kau membuatku tersenyum saat menerima suratmu. Aku sempat tertawa kecil saat kau menyamakan diriku seperti makhluk laut. Memangnya, apakah wajahku ini terlihat ketus dan kecut, seperti Squidward? Heheheh. Tenang saja aku tidak marah. Semoga itu panggilan yang baik.

Maaf, non, untuk surat kali ini aku menambahkan title songong untukmu dipembuka surat. Aku hanya binggung saja untuk menambahkan title untukmu. Semoga surat ini tidak ditafsirkan sebagai surat balas dendam. Sudahlah. Lupakan nama dan title itu. Apalah arti sebuah nama.

Hmm. Kabarku baik. Alhamdulillah. Tapi, beberapa pekan ini aku seperti jenuh. Jenuh dengan tulis menulis. Entah apa yang membebani dan memberatkan kepalaku. Seakan aku tidak bisa menggunakan kepalaku. Sepertinya aku butuh vitamin. Bahan bacaan, misalnya.

Nona, bagaimana kabar kuliah semester pendekmu? Semoga sukses dan lancar, ya.

Oh, iya. Di surat balasanmu begitu banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mungkin juga aku pun tidak bisa menjawabnya. Apakah aku harus menjawab semua pertanyaanmu? Semoga tidak. Dan ada beberapa pertanyaan itu yang menurutku lucu. Iya lucu, seperti kamu dan keluargamu. Hahahaah.

Yang jelas aku selalu percaya bahwa hidupku ini hanya untuk beribadah. Karena keyakinanku itu, kepalaku berkata, bahwa aku setidaknya harus bisa bermanfaat untuk diri sendiri, dan orang lain. Sebab dengan kebermanfaatanku itu, mungkin bisa menjadi nilai ibadah untukku, orang lain, dan Sang Pembalas. Walau kadang aku malu. Kadang aku masih melakukan dosa dan khilaf.

Nona, aku masih punya PR besar dari guruku. Beliau bilang “kejarlah matahari, sebab bayangan pasti akan mengikutimu. Tidak sebaliknya. Jika kau mengejar bayangan kau akan jauh dari matahari” Entah apa maksud guruku. Yang jelas mengejar matahari juga mungkin tidak kalah lelahnya dengan mengejar bayangan. Apalagi kalau tidak ada yang menemani. Mungkin terasa sulit.

Tapi, kemarin aku menemukan sedikit jawaban. Saat aku pulang, aku satu angkot dengan seorang wanita. Aku lihat wajah dan matanya, dia terlihat teduh. Sepertinya usiaku dengannya tidak tepaut jauh. Saat ku lihat dia, awalnya aku kira wanita itu gila. Dia terus saja menggerakkan bibirnya. Aku pikir dia butuh kecupan di bibir. Bibirnya mangap-mangap, komat-kamit seperti ikan cupang.

Aku mulai menurunkan pandanganku menuju bagian dadanya. Sudahlah lewatkan bagian dada. Aku menurunkan kembali pandanganku ke bagian tangan dan jarinya. Ibu jarinya berpindah-pindah gerak menempati gerat-gerat yang ada di jari-jari lainnya. Sepertinya aku tidak asing dengan gerakan jari itu. Iya, aku tahu gerakan ibu jari dan jari-jarinya itu. Akhirnya aku tahu jawaban dari gerak bibirnya. Ternyata dia mangap-mangap bukan minta kecupan. Tapi, ternyata sepanjang perjalanan dia bertasbih dan bertahmid.

Diriku langsung malu saat melihat itu. Aku seakan ditegur. Dialah wanita teduh yang mungkin bisa menemaniku untuk mengejar matahari. Aku harus mencari wanita seperti dia. Wanita teduh. Entah kapan aku bisa betemu dengannya lagi. Atau menemukan yang sejenis dengannya.

Nona, apakah kau punya kenalan wanita teduh seperti itu? Hahahaha. Tidak perlu dijawab. Mungkin, ini pertayaan ngacoku. 

Hmm. Nona, mungkin sekian dulu suratku kali ini. Aku selalu bingung untuk membuat pembuka dan penutup surat. Oh, iya, non. Salam untuk keluargamu. Semoga kamu dan keluarga sehat selalu.

See you ~


Salam hangat


Seorang Hamba

Minggu, 09 Agustus 2015

ONE

Beberapa hari lalu sepulang dari kampus, gue bertemu anak-anak berseragam. Mereka mengenakan baju putih, berkerah lengan pendek dan celana panjang biru donker. Ada yang lengkap dengan atribut kain panjang yang melilit di balik kerah bajunya, sisa kainnya itu dibiarkan menggantung panjang di depan dada dan perut mereka. Namun, ada juga yang tidak memakai kain itu, dan membiarkan bajunya keluar dari celanannya. Sepintas gue menilai kalau itu tidak tertata dengan baik. Tapi sudahlah, sepertinya gue tidak boleh menilainya terlalu cepat. Sebab gue juga pernah seperti itu.

Iya, mereka ini adalah anak-anak SMP. Mereka lagi nongkrong-nongkrong di depan warteg. Warteg yang pernah gue tongkrongin semasa SMP, dulu. Sepertinya mereka baru saja pulang dari sekolah. Gue tahu karena, saat itu matahari sudah mulai sedikit merubah cahaya emasnya.

Secara fisik, beberapa dari mereka ada yang sepantar dengan gue. Bahkan ada yang lebih tinggi dan berisi dibanding gue. Mungkin, kalau gue didandanin memakai baju seperti mereka, gue pasti masih cocok kumpul bareng mereka. Selain itu ada juga yang mengepulkan asap dari mulutnya. Di antara jari kiri telunjuk dan tengahnya terselip benda putih sepanjang 100 mm. Dan diujung benda putih itu terlihat bercahaya. Cahaya yang terlihat seperti bara.

Mereka seperti akrab dengan benda putih itu. Beberapa dari mereka, ada juga yang duduk di atas bebek bermesin beroda dua. Mereka terlihat seperti orang-orang yang bebas dari beban hidup. Terlihat dari penampilannya, mulai dari gaya rambut yang stylish, pakaiannya yang tidak tertata rapi, dan beberapa atribut yang ada di jari serta lengan mereka. Mereka seakan lupa dengan statusnya saat ini.

Gegara melihat mereka, gue jadi ingat masa-masa gue sewaktu SMP, dulu. Tidak jauh berbeda dengan mereka. Sewaktu SMP gue juga sudah kenal dengan rokok, pakaian tidak rapi, motor, dan wanita. Tapi bedanya, gue menjadi pemeran pasif dari keempat hal tersebut. Ok. Gue mau membahas sedikit masa-masa SMP. Cekidot:

Pertama masuk SMP. Sewaktu gue kelas satu gue mulai kenal yang namanya wanita cantik dan pria tampan. Beruntung gue masuk kelas 73, di kelas ini cukup banyak cewek cantiknya. Apalagi sewaktu MOS. Kelas gue dibimbing oleh kakak kelas. Namanya Kak Ayu, Kak Aksa, dan Kak Firda. Gue lihat mereka seperti model, mereka terlihat tinggi di mata gue. Mungkin karena gue yang pendek. Kak Ayu dan Kak Firda mereka cantik-cantik, kulitnya putih dengan rambutnya melewati bahu. Terkadang rambutnya dikuncir seperti buntut kuda. Anggun. Lalu Kak Aksa, hampir semua OSIS di SMP dan adik-adik kelasnya pasti kenal dengan dia. Dia terlihat tampan dengan rambutnya yang cukup panjang dan bergaya belah pinggir, doi juga jago main basket.

Selain dari Kakak-kakak kelas yang kece-kece, di kelas gue juga ada cewe cantiknya. Yang gue ingat ada Nesti Nur Jaillah, dan Rosa Felani T. Sebenarnya ada beberapa lagi. Tapi, yang gue ingat cuma mereka berdua. Mau lihat buku tahunan SMP, udah nggak tahu itu buku ke mana.

Yang khas dari gue sewaktu kelas satu di SMP. Pas jam istirahat pertama tiba, gue selalu pergi ke perpustakaan. Iya, waktu itu gue belum punya teman, dan tidak begitu akrab dengan orang-orang. Menghabiskan waktu istirahat dengan tidur-tidur di sana. Karena di perpus itu adem banget, sudah ada AC di sana. Kalau pun tidak ke perpus gue makan bento yang gue bawa. Maklum uang jajan gue sedikit.

Lanjut ke kelas dua. Di kelas dua ini gue masuk ke kelas 86. Mulai kenal yang namanya nakal. Kelas 86 ini di kenal sebagai kelas badung. Ada tiga kelas 8, yang dikenal sebagai kelas badung, yaitu: kelas 86, 87, 88. Iya, karena di tiga kelas itu isinya ada anak-anak basis tempur SMP. SizTurn. Gue sekelas dengan Pandu, Theo, Rizal, dan beberapa lainnya. Kelakuan kita di kelas, kalau tidak ada guru atau jam kosong pasti waktu kosong itu di pake untuk main Smack Down, kuda tomprok, dan kadang godain Risma atau cewe lainnya di kelas 84. Tapi, yang lebih sering kalau jam kosong tiba, pasti cabut ke kantin. Borong semua jajanan yang ada di sana. Di kantin Ayu.

Kelas 86 itu kelas yang 'makmur' banget. Kelas ini jauh dari pantauan guru piket dan ruang guru. Sekolah SMP gue itu bentuk bagunannya seperti leter P. Ruang guru ada di paling pojok atas sebelah kanan dan kelas 86 itu ada di kaki huruf P, paling bawah pojok sebelah kiri. Karena 'strategisnya' kelas gue, kesempatan ini tidak mau dibiarkan begitu saja. Kadang kalau ada jam kosong setelah istirahat kedua, kesempatan itu dipakai untuk cabut dan pulang ke rumah. Atau pulang ke warnet, atau memenuhi janji untuk tempur dengan sekolah lain.

Berikutnya kelas tiga. Akibat dari 'bebasnya' gue di kelas dua. Pas di kelas tiga, gue masuk ke kelas 98. Kata orang semakin jauh kelasnya, maka, itu kelas warning. Kelas 91 itu kelas unggulan, 92 cukup unggulan, dan semakin ke ujung, maka, itu kelas yang kurang. Dan Lagi-lagi gue sekelas dengan Pandu dan Theo, ditambah lagi dengan Bonge, Fajri, dan Hadi. Lengkap sudah. Karena warning-nya kelas gue ini, posisi kelasnya tepat di sebrang meja guru piket dan ruang guru. Dan wali kelas gue adalah Bu Eny, guru yang paling dikenal sebagai guru killer. Tapi, sebenarnya dia baik. Banyak mengajari hal tentang kerapihan dan kebersihan.

Karena ingin membuat bangga wali kelas, kebiasaan cabut dari sekolah sudah mulai di kurang-kurangi. Tapi, kebiasaan untuk cabut ke kantin masih tetap berlanjut. Kalau cabut dari kelas menuju kantin cukup gampang. Pertama awasi meja piket, kalau ternyata sudah kosong gue, Hadi, dan Fajri cabut lewat jalan belakang musalah. Atau kalau pun ada guru piketnya kita pergi ke WC musalah dan lanjut menyelinap ke kantin yang ada di belakang musalah.

Tapi, hal yang paling berkesan saat SMP, menurut gue adalah saat berangkat dan pulang bareng teman-teman. Biasaanya saat berangkat, gue sama teman-teman yang lain nongkrong dulu di ruko-ruko dekat Masjid Agung Al Jihad Ciputat. Pas waktu sudah pukul 06:30 atau selambatnya 06:45, salah seorang dari rombongan nongkrong ini mulai bergerak mencari angkot yang bisa dicarter. Biasanya yang nyari carteran itu Theo atau Omen. Gue yang ikut ini merasa puas banget. Karena, gue bayar dua ribu (biaya normal) atau seribu. Dan itu rombongan carter angkot dianterin sampai depan pintu gerbang sekolah. Kadang cartenya sampai dua angkot. Satu angkot biasanya penuh banget sampai isi 20 orang, ada yang duduk di alas angkot, duduk di jendela, dan ada yang gantung sampai 5 orang di pintu angkot.

Sewaktu pulangnya juga tidak kalah serunya. Tapi, karena gue sama teman-teman rumahnya beda, saat pulang kita tidak carter angkot. Kita lebih memilih untuk naik koantas bima, bus, atau Mayasari Bakti. Naik ini jauh lebih murah ongkosnya cuma 500 perak, dari Kampung Utan sampai belokan Masjid Agung, kalau temen-temen gue 500 sampai Ramayana. Karena kebanyakan rumah mereka di daerah-daerah komplek Kejaksaan dan komplek Brimob. Hampir rata-rata semua cowo yang angkatan gue pulang naik koantas bima, dan ada beberapa adik kelas. Kadang kita naik 510, 102 (sampai Mega Mall doang), Patas 76, dan Mayasari. Kelakuan gue sama temen-temen gue ini meniru dari kakak-kakak kelas dan dari anak SMA/SMK Triguna.

Hampir keseluruhan kelakuan gue sewaktu SMP itu seru banget, kecuali tawuran. Gue ingat temen SMP gue yang jadi korban tawuran. Dia nggak bisa ikut pelajaran selama hampir satu semester karena pendarahaan sewaktu gir motor membentur kepalanya. Dan bahkan ada yang meninggal.

Sudah, ya. Mungkin itu kilasan masa SMP gue. Maaf kalau pembuka, isi, dan penutupnya aneh. Satu lagi SMP gue ini dapat julukan dengan nama ONE (dibaca dengan bahasa Indonesia). SMP ini terkenal dengan segudang prestasinya. Itu sebabnya SMP gue ini dapat julukan ONE. Mungkin yang gue ceritakan ini hal negatif. Tapi SMP gue punya dua lemari etalase gede yang isinya full medali dan piala-piala gede.

Kalau kelakuan kalian sewaktu SMP, seperti apa? Silakan ceritakan di kolom komentar.

Terima kasih buat kalian yang sudah baca. See you~