Selasa, 19 April 2016

Cari Kamar

Gue itu anaknya nggak bisa nolak kalau ada yang minta bantuan. Iya dengan syarat ada uang lelahnya, upah gitu. Bahahahaha. Engak ding. Gue kalau kasih bantuan iya dipikir dulu selama waktu dan tenaga masih sesuai dengan kemampuan gue. Pernah dalam satu kesempatan sewaktu SMK dulu, gue gaya-gayaan jadi super hero penolong teman-teman yang sedang ujian kompetensi. Setiap ada yang panggil nama gue, gue selalu datang menghapiri mejanya. Mondar-mandir ke setiap meja dan memberi tau sedikit cara-cara penyelesaian ujian saat itu. Sementara hasil kerjaan ujian gue sendiri belum ada seperempat pengerjaan. Alhasil, gue tertingal dari yang lainnya dan saat batas waktu ujian sudah mendekati habis, gue mulai berteriak di depan kelas. Berteriak untuk tidak minta bantuan gue terus. Seusai berteriak itu jadi malu sendiri. Kenapa harus teriak, kenapa nggak dicuekin saja mereka dan fokus dengan tugas gue sendiri. Entah ini gue yang baik atau gue gampang disuruh-suruh.

Di bulan September tahun lalu, adik gue meminta bantuan untuk dicarikan tempat penginapan yang dekat dari kampusnya. Karena gue tidak ada kesibukan saat itu tentu gue harus bantu adik gue. Iya walaupun gue ada kesibukan, lebih baiknya memang harus bantu adik gue karena keluarga adalah orang terdekat.

Awalnya sebelum gue bantu cari tempat penginapan di sekitaran kampus, gue mencari tau dulu info ke teman-teman kampus. Ada beberapa yang memberikan info namun ternyata tempat penginapan itu sudah penuh. Akhirnya dengan berani, gue, Ayah dan adik gue mulai jalan menjelajah rumah-rumah di belakang kampus mencari rumah-rumah yang menyediakan kamar sewa. Di sepanjang perjalanan cukup banyak iklan brosur yang mengabarkan info kamar sewa. Gue dan adik mulai mencoba menghubungi nomer kontak yang tertera. Namun, ternyata beberapa tempatnya sudah penuh sampai akhirnya, gue bertanya dengan warga yang sedang santai di sekitar sana. Bertanya dan meminta bantuannya untuk dicarikan kamar sewa untuk perempuan. Iya karena adik gue ini perempuan. Melalui bantuan warga itu akhirnya adik gue dapat kamar sewa.

Terima kasih, ya, om, yang sudah bantuin gue, adik dan ayah gue.

Tidak lama tinggal di kamar sewa itu, adik gue memutuskan untuk pindah. Karena suasana kamar dan biayanya kurang sesuai dengan selera. Dan kebetulan ada kamar sewa yang lebih nyaman di gang sebelah, adik gue meminta ayah untuk pindah kamar sewa.

Setelah lihat-lihat dan karena mau buru-buru pindah, adik dan ayah melakukan nego untuk kemudian menemukan kesepakatan yang sesuai. Keesokan harinya, gue dan adik mulai melakukan pindahan membawa barang-barang keperluan adik gue selama tinggal di sana. Membawa tiga tas gede, satu lemari plastik, dan satu kasur lipat lantai.

“Aa, lemari plastik dan kasurnya biar ayah dan aa saja besok dibawa lagi” tawar adik gue.
“Kelamaan kalau tunggu ayah, mending sekarang langsung selesai hari ini juga” ucap gue yang memang meles bolak balik.
“Terus ini gimana mau bawa kasur dan lemari plastiknya? Sudah berat tau dengan tas segede gaban gini” kata adik gue yang sepertinya nggak mau.
“Ini enteng tau, lemarinya ditiduri pegang bagian ujung masing-masing dan kasurnya ditaruh di atasnya” jawab gue dengan yakin memberi solusi.

Beruntung sekali tidak terlalu jauh lokasi kamar sewa yang lama dengan kamar sewa yang baru. Padalah gue sudah pegel bawa barang-barang. Sesaat mau sampai kamar sewa yang baru di gang sebelah, kasur lipat di atas lemari yang ditiduri itu jatuh ke jalan. Adik gue marah kesal sambil ketawa, dia menyalahkan gue karena tidak pegangin kasur lipatnya.

Oke. Gue tau kenapa gue yang disalahkan. Karena gue cowo. Katanya cowo itu selalu salah.
Tapi, masa iya.

***

Memilih dan mencari kamar sewa memang tidak terlalu mudah. Menariknya, gue baru saja ketemu dengan website serumah.com sebuah website penyedia layanan untuk mencari dan mengiklankan kamar sewa. Melalui website ini, mahasiswa atau profesional muda dengan mudah untuk mencari dan menemukan kamar sewa yang sesuai selera serta kebutuhannya. Pertimbangan dalam memilih kamar sewa melalui website ini dapat lebih mudah, seperti gambaran suasana kamar, biaya, ataupun teman berbagi kamar dapat ditinjau lebih dahulu tanpa perlu berkunjung ke tempatnya langsung. Selain itu pemilik kamar sewa juga bisa mengiklankan kamar sewanya melalui website ini. Dalam website ini juga ada fitur bernama Cari Teman Sekamar, sebuah layanan untuk membantu menemukan teman sekamar berbagi kamar sewanya. Jadi, biaya sewa kamar bisa ditanggung dengan dua orang.


serumah.com
serumah.com


Untuk kalian yang ingin mencari dan mengiklankan kamar sewanya, silakan coba main ke website serumah.com siapa tau cocok.

Kini kemajuan teknologi dan internet semakin tak terduga. Bahkan mencari kamar sewa kini ada websitenya sendiri. Bahkan ada juga yang jualan kerupuk, tahu, serta cabe kriting dibantu dengan jasa internet. Kira-kira hal menarik apalagi, ya, yang ada di internet?

Kamis, 07 April 2016

Sepotong Hati di Segelas Milkshake Cokelat Episode ke- XI

 Episode sebelumnya bisa dibaca di Wulan, Icha, Yoga atau di sini.

***
Episode ke- XI

“Mei?” kata Agus kaget. Tamu yang tidak disangka-sangka. “Ada apa, ya?”
“Januar-nya ada?”
Agus tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung mempersilakan Mei untuk masuk dan menyuruhnya duduk. “Gue tinggal dulu ke dapur, ya. Tadi lagi masak air.”
Mei kemudian menunggu di ruang tengah karena rumah Agus memang tidak ada ruang tamunya. Ia duduk di sofa berwarna abu-abu yang panjangnya kira-kira muat untuk tiga orang. Sebagian rambut dan pakaian Mei yang basah karena sedikit kehujanan pun ikut membasahi sofa itu.
Sesekali Mei memerhatikan suasana rumah Agus. Begitu sepi. Ia pun mulai memandangi jejeran foto keluarga Agus yang terletak di dinding dan di bufet. Mei berdiri dan mendekati foto yang menempel di dinding. Terlukis senyum di bibirnya saat melihat kebersamaan keluarga mereka. Apalagi di foto itu, Januar kecil sedang merangkul adiknya, terlihat begitu menggemaskan. Lalu, Mei mengalihkan pandangannya ke foto-foto di atas bufet. Ada foto close up Januar balita sedang tertawa dan tidak melihat kamera. Melihat foto lucu itu, Mei pun memotretnya secara diam-diam menggunakan ponselnya.
“Maaf ya, lama,” ujar Agus mengagetkan Mei. “Lu ngapain deh berdiri di situ?”
“Ng... nggak, kok,” jawab Mei sedikit panik. Mei menatap kagum ke arah foto Januar balita sambil memasukkan ponselnya ke saku celana sebelah kanan tanpa sepengetahuan Agus. “Ini cuma lagi lihat-lihat foto Januar, dia dari kecil ternyata sudah Gganteng, ya.”
Agus  hanya tersenyum, tidak curiga sedikit pun kepada Mei yang tingkahnya seperti seorang pencuri. Walaupun sebenarnya memang seorang pencuri. Pencuri hati Agus dan Januar. Lalu, Agus menghampiri Mei dan menyodorkannya secangkir teh hangat yang manis. Agus tidak jadi memasak mi instan, airnya ia pakai untuk membuat teh.
“Diminum tehnya, ya.”
“Makasih,” kata Mei, lalu meminumnya.
Agus membalikkan badan, meninggalkan Mei sejenak untuk mengambil sesuatu dan membiarkan Mei melihat-lihat foto.
“Keringin dulu nih rambutnya,” kata Agus memberikan handuk kecil kepada Mei. “By the way, abang gue dari kecil emang udah cakep. Pinter pula. Gak kayak gue,” lanjutnya.
Kini, Agus kembali merasa cemen. Ia mendadak pesimis. Merasa kalau memang tidak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya jika dibandingkan dengan Januar.
“Hus!” ujar Mei. “Gak boleh ngomong gitu, ah. Setiap manusia lahir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.”
“Tapi gue nggak ngerasa punya kelebihan,” ujar Agus semakin pesimis.
Mei masih menyapu rambutnya yang basah dengan handuk sambil memandangi wajah Agus. Memerhatikan kalau sebenarnya Agus juga cukup tampan. “Gak mungkin. Lu belum sadar aja sama kelebihan dalam diri lu. Hm... menurut gue, lu itu cowok yang baik. Itu sebuah kelebihan, kan?”
Iya, Agus memang laki-laki yang baik. Kalau tidak baik, mungkin dirinya sudah memerkosa Mei. Kebetulan rumahnya saat ini memang sedang kosong dan sepi hanya ada mereka di dalam rumah, apalagi ditambah cuaca yang mendukung. Namun, Agus tidak akan berbuat demikian. Ia tidak senista itu.
“Baik itu relatif, Mei,” sahut Agus. “Januar itu beda deh sama gue. Dia...,” Agus menarik napas panjang dan ingin meneruskan ucapannya, tapi ia sadar kalau ucapannya nanti hanya akan membuat dirinya semakin rendah di mata Mei.
Mei hanya manggut-manggut, kemudian melepaskan pandangan dari jajaran foto dan kembali duduk di sofa. Agus memerhatikan bibir mungil Mei yang meniup-niup kecil teh hangat yang dipegangnya. Kini, Agus ikutan duduk di sofa bersebelahan dengan Mei.
“Lu kenapa sampe nekat dateng ke rumah, sih?” tanya Agus. “Bukannya sudah tau, kalau kakak gue akhir-akhir ini sering pulang telat karena lembur?”
Sontak Mei meletakkan cangkir teh yang sedari tadi digenggamnya ke meja. Matanya menatap nanar Agus. Bibirnya yang sedari tadi sibuk dengan upaya mendinginkan teh yang masih cukup panas, kini ia gunakan untuk melontarkan ucapan, “Entahlah. gue merasa, Januar menghindar dari gue akhir-akhir ini, Gus.”
“Masa, sih?” tanya Agus, sedikit ragu.
“Iya. Tadi, gue dateng ke kantornya, tapi dia nggak ada. Kata beberapa karyawan di sana, dia sedang izin keluar kantor sejak siang hari.”
“Terus lu langsung mikir dia pulang? tanya Agus. “Udah lu coba telepon dia?”
“Ya, emang dia mau ke mana lagi? Makanya gue langsung ke sini. Ternyata sama aja. Nggak ada. Dihubungin lewat apa pun juga nggak ada respons. HP-nya dimatiin,” jawab Mei dengan kesal campur sedih.
“Waduh. Ke mana, ya, tuh anak?!” Sebuah pertanyaan retorik yang tidak memberikan solusi apa-apa.
Mei hanya mengangkat bahu. Agus pun penasaran dan mencoba menelepon kakaknya. Tapi sayang, HP-nya masih belum aktif juga.
“Apa dia selingkuh, ya?” tanya Mei tiba-tiba.
Agus jadi teringat akan malam itu, malam ketika mendengar kakaknya teleponan dengan entah siapa di sebrang telepon sana. Saat itu, ia juga berpikir kalau kakaknya selingkuh. “Waduh, lu jangan ngomong gitu dong. Jangan mikir yang enggak-enggak,” ujar Agus mencoba menenangkan hati Mei. Agus sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menjelekkan kakaknya.
“Tapi udah tiga hari ini dia suka ngilang. Dan hari ini malah nggak ada kabar dari pagi.”
Ketika Mei terus berkeluh kesah dan berpikiran yang bukan-bukan tentang Januar, Agus mencoba untuk tetap membela kakaknya dan membuat Mei agar tidak negative thinking. Agus menyimpulkan kalau Januar sedang ada meeting dengan klien di luar kantor, makanya Januar menonaktifkan ponselnya karena tidak ingin adanya gangguan, termasuk dari pacarnya.
Mei berusaha untuk memercayai apa yang Agus katakan, namun karena tidak mampu menahan kesedihannya, kini gerimis juga ikut turun di sudut matanya. “Padahal hari ini dua tahunan kami jadian, tapi Januar gak bisa sebentar aja ngeluangin waktunya buat gue,” ucap Mei dengan terisak dan reflek memeluk Agus sambil menangis.
Agus tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ada rasa nyaman dan bahagia yang tercampur dengan rasa bersalah. Tidak pernah menyangka kalau pacar kakaknya (yang juga ia sayangi) akan memeluk dirinya. Senyum Agus mulai mekar, wajahnya sedikit memerah. Agus mendengar dengan jelas isakan Mei. Ia juga mulai merasakan kalau kaosnya agak basah. Agus tetap membiarkannya. Barangkali hal itu dapat membuat Mei lega.
Setelah beberapa saat, Mei pun melepas pelukannya. “Maaf, Gus.”
Agus bergeming. Ada kecanggungan di antara mereka.
Setelah hening beberapa saat, akhirnya Mei memutuskan untuk pulang. Hujan di luar mulai mereda. Jam juga sudah menunjukkan pukul 20.45. Agus kemudian menawarkan diri untuk mengantarkannya.
***
Agus dan Mei masih saling diam sepanjang perjalanan. Mei tidak berbicara apa pun selain memberi tahu arah rumahnya. Agus juga masih takut untuk mengajaknya mengobrol. Situasi ini cukup membingungkan bagi Agus.
“Gus, kiri-kiri.” Tiba-tiba Mei menyuruh Agus untuk menepi. Agus jelas kaget, ia merasa seperti tukang ojek. Tapi, dengan lugunya ia tetap menurut. Agus memelankan laju motornya dan memilih untuk berhenti.
“Ada apa, Mei?” tanya Agus, begitu motornya menepi ke pinggir jalan.
Mei langsung turun dari motor, kemudian memilih duduk di halte. Agus pun mengikutinya. “Gue sebenarnya nggak pengen pulang dulu, Gus. Ada sesuatu yang mengganjal di hati gue.”
“Ada apa?” tanya Agus bingung bercampur rasa penasaran.
Mata Mei mulai gerah, berkaca-kaca, dan perlahan embun menetes dari matanya. Di saat itu juga, rintik hujan kembali membasahi bumi.
“Jangan nangis lagi, dong, gue nggak punya balon,” ujar Agus.
Mei berusaha menghapus air matanya. Ia menarik nafas, lalu berkata sambil tersenyum, “Menurut lu, kalau seandainya gue minta putus sama Januar, itu terlalu berlebihan gak, sih?”
Sontak Agus membelalakan matanya dan fokus ke wajah sendu Mei. Ucapan itu sungguh membingungkan. Membuat perasaan Agus terbagi menjadi dua kubu; di satu kubu  Agus turut sedih, di  kubu lainnya ada sedikit harapan dan keinginan kalau kenyataan itu akan terjadi.
“Gus, Agus? Lu kenapa bengong?” tanya Mei melihat Agus yang diam saja dan tidak merespons.
“A—apa?”
“Wah, lu mikir jorok, ya? Hahaha,” ledek Mei.
“Kagak-kagak.”
“Hahahaha. Halah. Terus?”
“Kagak. Sumpah deh!” ujar Agus membela diri.
“Parah. Gue lagi curhat juga. Dasar mesum! Hahahaha.”
Mei menyemburkan tawanya di hadapan Agus sambil perlahan-lahan menghapus air matanya. Tawa yang awalnya terdengar dipaksakan, tapi lambat laun menjadi tawa yang lepas dan tanpa henti. Melihat itu, Agus tidak dapat berkata apa-apa lagi. Bukan karena ia malu telah dituding mesum oleh Mei, tapi karena ia tak mau merusak pemandangan indah itu.
Kapan lagi bisa melihat bidadari tanpa sayap tertawa selepas ini? batin Agus sambil mengulas senyum.
Layaknya peri hujan, kesedihan Mei itu seolah mampu mengundang langit memanggil hujan. Dan tawanya kembali mencerahkan langit. Perlahan hujan reda kembali. Mei pun sampai lupa dengan pertanyaannya barusan.

***
Tepat pukul 22.00, Mei telah sampai di rumahnya. Di depan gerbang, Mei menawarkan Agus untuk mampir sebentar. Agus berusaha menolak, tetapi Mei terus memaksanya. Mau tidak mau, Agus pun masuk ke rumah. Namun, begitu mereka berdua memasuki rumah, di teras tampak seseorang yang mereka kenal dengan baik. Seorang laki-laki mengenakan kemeja berwarna abu-abu yang lengannya digulung hingga siku dan celana bahan hitam sedang duduk di teras.
“Januar, apa yang kamu lakukan ke saya itu jahap!,” kata Mei pelan. Mei pun berlari mendekati Januar.
Sudah setengah jam Januar menunggu kedatangan Mei. Ia segera berdiri menyambut kedatangan Mei.
“Kamu ke mana aja? 14 jam aku menungggumu.” tanya Mei.
Januar tidak menjawab.
“Kamu jahat!” kata Mei kesal. Setelah itu, Mei langsung memeluknya. Karena pelukan Mei terlalu kencang, Januar pun tidak sengaja menjatuhkan sesuatu yang dari tadi digenggamnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah. Mei melepas pelukannya dan melihat ke arah kotak itu. Januar segera menunduk dan mengambil kotak itu. Januar tidak langsung berdiri, ia malah berlutut di hadapan Mei. Januar segera membuka kotak itu dan memperlihatkannya ke Mei. Isi kotak itu adalah sebuah cincin. Ya, Januar bermaksud mengajak Mei bertunangan. Januar ingin serius dengan Mei.
Will you marry me?” tanya Januar.
Air mata bahagia pun mengalir dari mata Mei. Mei tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa mengangguk sambil menutupi rawut wajahnya yang penuh air mata itu. Dari pagi ia tidak  mendapatkan kabar dari Januar, namun malamnya ia dilamar. Sungguh kejutan yang luar biasa.
Di kejauhan, Agus menyaksikan semuanya. Ia sudah sepenuhnya sadar kalau Mei memang ditakdirkan dengan kakaknya. Bukan dirinya. Ada ingatan yang dengan tiba-tiba menusuk isi kepala Agus. Sebuah peristiwa minggu lalu, di pagi yang penuh luka dan duka.